BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia
merupakan negara besar yang sedang berkembang dalam berbagai bidang. Pendidikan
menjadi salah satu bidang yang terus menerus dikembangkan. Tanpa adanya usaha
dalam bidang pendidikan, kemajuan bagi Indonesia niscaya menjadi hal yang
sulit, karenanya kini tidak boleh ada lagi warga negara Indonesia yang tidak
mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Pendidikan di Indonesia harus bisa
dinikmati oleh semua orang.
Pendidikan
dalam sudut pandang yang luas mengartikan bahwa pendidikan merupakan hal yang
tidak dapat terpisahkan dari kehidupan. Dari mulai lahir sampai dengan
berakhirnya waktu, sebagai manusia kita
akan terus menerus memperoleh pendidikan. Entah itu pendidikan formal di
sekolah maupun pendidikan yang didapat dari berbagai pengalaman kehidupan.
Peran pendidikan dalam kehidupan seseorang sangatlah penting.Dimana pendidikan
dapat mengembangkan akhlak, sikap, pengetahuan, dan membentuk pola pikir
seseorang. Semua hal tersebut kini diejawantahkan dalam kurikulum baru yang
disebut dengan kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 disajikan agar pendidikan selaras dengan perkembangan zaman. imana kemajuan IPTEKS (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) harus diimbangi dengan IMTAQ (Iman dan Taqwa). Pada jenjang pendidikan dasar kurikulum 2013 menekankan kepada aspek afektif dimana iman dan taqwa dikembangkan. Namun dibalik semua kebaikan yang ada dalam kurikulum 2013, masih banyak pelaksana dan pengembang kurikulum yang bingung dengan desain sistem pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013. Kajian lebih lanjut dari para ahli kurikulum dan pendidikan memang sangat diperlukan agar kurikulum 2013 dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu penulis akan membahas desain sistem pembelajaran dalm konteks kurikulum 2013 dalam makalah ini yang sebelumnya telah dikaji dari literatur terkait dengan kurikulum 2013.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Konsep
Dasar Penilaian Pembelajaran?
2.
Bagaimana Menata Ulang Ragam Penilaian Pembelajaran?
3.
Bagaiman Penilaian
Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013?
4.
Apa Keutamaan
Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013?
5.
Bagaimana Mendesain Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013?
6.
Bagaimana Implementasi Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui Bagaimana Konsep Dasar Penilaian Pembelajaran.
2.
Untuk mengetahui bagaimana Menata Ulang Ragam
Penilaian Pembelajaran.
3.
Untuk mengetahui bagaimana Penilaian
Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013.
4. Untuk mengetahui apa Keutamaan
Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013.
5. Untuk
mengetahui bagaimana Mendesain Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013.
6.Untuk
mengetahui bagaimana Implementasi Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum
2013.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar
Penilaian Pembelajaran
Dalam
dunia pendidikan terdapat beberapa istilah yang bertema dengan penilaian yaitu
evaluasi, penilaian, tes, dan pengukuran. Keempat istilah ini terkadang
digunakan mengacu pada hal sama. Namun demikian, pada prinsipnya keempat
istilah sebenarnya memiliki perbedaan. Guna membedakan keempat istilah ini
berikut diuraikan konsep pengukuran, tes, penilaian dan evaluasi.
Berkenaan
dengan perbedaan antara pengukuran dan tes, Nikto (1996); Ebel dan Friesbie
(1991) menyatakan bahwa pengukuran merupakan sebuah prosedur penentuan dan
penetapan skor untuk menentukan spesifikasi atribut atau karakteristik siswa.
Skor hasil pengukuran mencerminkan tingkatan yang dimiliki siswa. Di sisi lain,
tes didefinisikan sebagai instrumen atau prosedur sistematis untuk
mengobservasi dan mendeskripsikan suatu atau lebih karakter siswa menggunakan
skala numerik ataupun skema klasifikasi. Senada dengan pendapat kedua ahli
diatas, Miller et al. (2009) menyatakan bahwa pengukuran dipandang sebagai
proses menetapkan nilai hasil tes atau jenis penilaian lainnya yang memiliki
aturan-aturan khusus. Oleh sebab itu, pengukuran biasanya menjawab pertanyaan
“seberapa banyak?” Tes merupakan instrumen untuk mengukur sampel perilaku mulai
melalui pengajuan seperangkat pertanyaan secara seragam. Sebagai salah satu
alat penilaian, tes biasanya menjawab pertanyaan “seberapa baik performa
seseorang siswa dibandingkan dengan siswa lain atau dibandingkan dengan
performa tugas yang ditetapkan?”
Lebih kompleks dari istilah pengukuran
dan tes, penilaian (assessment) adalah istilah umum yang mencakup semua metode
yang bisa digunakan untuk menilai untuk kerja individu atau kelompok peserta
didik. Proses penilaian mencakup pengumpulan bukti menunjukkan pencapaian
belajar peserta didik. Terhadap definisi penilaian Angelo dan Croos (1993)
menyatakan bahwa penilaian merupakan sebuah proses yang didesain untuk membantu
guru mengemukakan apa yang telah dipelajari siswa di dalam kelas dan bagaimana
tingkat keberhasilan mereka mempelajarinya. Penilaian mencakup semua proses
pembelajaran. Oleh karena itu, kegiatan penilaian tidak terbatas pada
karakteristik saja, tetapi juga mencakup karakteristik metode mengajar,
kurikulum, fasilitas dan administrasi sekolah. Instrumen penilaian untuk
peserta didik dapat berupa metode dan/atau prosedur formal atau informal untuk
menghasilkan informasi tentang peserta didik. Instrumen penilaian dapat berupa
tes tertulis, tes lisan, lembar pengamatan, pedoman wawancara, tugas rumah dan
sebagainya. Penilaian juga diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil
pengukuran atau kegiatan untuk memperoleh informasi tentang pencapaian kemajuan
belajar peserta didik.
Popham (2011a) menyatakan bahwa
penilaian merupakan usaha formal yang dilakukan untuk menjelaskan status siswa
dalam variabel penting pendidikan. Variabel penting pendidikan di sini meliputi
ranah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Tes dan pengukuran di sisi lain
dipandang sebagai alat untuk melakukan penilaian. Senada dengan Popham, Miller
et al. (2009) menyatakan bahwa penilaian sebagai istilah umum yang berisi
seluruh prosedur untuk mendapatkan informasi tentang status belajar siswa dan
membuat keputusan berdasarkan pengembangan belajar siswa. Tes merupakan salah
satu jenis penilaian yang secara khusus berisi seperangkat soal yang diberikan
selama periode tertentu untuk membandingkan kondisi seluruh siswa.
Dalam kaitannya dengan pola pengambilan
keputusan dilakukan guru penilaian dipandang sebagai proses kumpulan informasi
tentang siswa yang di dapat digunakan untuk membuat keputusan bagi guru dalam
rangka melaksanakan proses pembelajaran. Karena penilaian sangat berhubungan
dengan pengambilan keputusan dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan,
penilaian harus secara serius dilakukan guru dengan mempertimbangkan etika
penilaian, proses persiapan yang matang dan mempertimbangkan standarisasi tes
tersebut (Anderson, 2003). Briemali dengan pendapat ini, Nitko (1996)
menyatakan bahwa penilaian merupakan sebuah proses untuk mengumpulkan informasi
yang akan digunakan untuk membuat keputusan tentang siswa, kurikulum, program
pembelajaran dan kebijakan pendidikan secara umum.
Evaluasi (evaluation) adalah penilaian yang sistematik tentang manfaat atau
kegunaan suatu objek (Mehrens dan Lehmann,
1961). Dalam melakukan evaluasi terdapat judgement untuk menentukan nilai suatu program yang sedikit banyak
mengandung unsur subjektif. Evaluasi memerlukan data hasil pengukuran informasi
hasil penilaian yang memiliki banyak dimensi, seperti kemampuan, kreativitas,
sikap, minat, keterampilan dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam kegiatan
evaluas,i alat ukur yang digunakan juga bervariasi bergantung pada jenis data
yang ingin diperoleh.
Burden dan Byrd (1999: 333) mengemukakan
bahwa “evaluation is a process in which
the teacher uses information drived from many sources to arrive at a value
judgement. Evaluation may be based on measurement data, but also might be based
on other types of data such as questionnaires, direct observation, written or
oral perfomance ratings, or interviews”.
Richard dan Rodgers (2001: 158)
mengungkapkan bahwa evaluation refers to
procedures for gathering data on thr dynamics, effectiveness, acceptability and
efficiency of language program for the purporses of decision making. Basically,
evaluation addresses whether the goals and objecyives of language program are
being attained, that is, whether the program is effetive in absolute term.
Gronlud
(1993) menyatakan bahwa evaluasi adalah suatu proses sistematik untuk mengukur
tugas belajar siswa secara representatif. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa
evaluasi dalam bidang pembelajaran memiliki berbagai fungsi yakni untuk
mengukur hasil belajar, mengetahui kelemahan pembelajaran, menginformasikan
keefektifan metode pembelajaran dan bahan ajar yang digunakan, memberikan suku
Bali bagi siswa dan memperbaiki proses pembelajaran. Senada dengan Gronlund,
Gullo (2005) mendefinisikan evaluasi sebagai sebuah proses membuat keputusan
tentang prestasi, nilai, keberhasilan proyek, kualitas bahan atau keunggulan
teknik tertentu. Evaluasi juga mencakup teknik penelitian untuk menguji dan
menarik kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh. Bukti dapat mencakup hasil
pengamatan sistematis atas objek yang diamati. kedudukan penilaian proses
evaluasi pendidikan adalah sebagai prosedur khusus yang digunakan untuk membuat
keputusan tentang pembelajaran.
Sebagai
akhir bagaikan ini perlu kiranya ditegaskan bahwa keempat istilah yakni
pengukuran, penilaian, tes dan evaluasi merupakan hal yang berbeda.
Pengukuran,
penilaian, dan evaluasi bersifat bertahap (hieraksis), maksudnya kegiatan
dilakukan secara berurutan, dimulai dengan pengukuran, kemudian penilaian, dan
yang terakhir evaluasi. Tes sendiri hanya merupakan alat yang digunakan untuk
melakukan kegiatan penilaian. Secara lebih terperinci dapat dinyatakan bahwa
evaluasi merupakan penilaian yang dilakukan secara luas pada seluuh aspek
pendidikan baik pembelajaran, program, maupun kelembagaan. Penilaian merupakan
bagian dari kegiatan evaluasi yang terfokus pada dimensi pembelajaran yang di
dalamnya terkandung juga istilah tes dan pengukuran. Tes merupakan salah satu
instrumen yang digunakan untuk melakukan penilaian. Pengukuran di pihak lain
merupakan prosedur penerapan skor atas gapaian kinerja yang di peroleh siswa.
B. Menata Ulang Ragam Penilaian
Pembelajaran
1.
penilaian formatif dan penilaian sumatif
Dalam
pelaksanaan penilaian dikenal dua istilah umum penilaian yakni penilaian
formotif dan sumatif. Terhadap kedua jenis istilah ini pun saat ini masih
diartikan keliru. Penilaian formatif dipandang sebagaipenilaian yang dilakukan
setelah siswa mencapai satu pokok bahasan atau keterampilan tertentu, penilaian
ini biasanya dilaksanakan dalam kurun waktu mingguan. Penilaian sumatif
dipandang sebagai penilaian yang dilakukan di akhir beberapa pokok bahasan atau
akhir semester. pemahaman atas kedua ini hendaknya diluruskan sesuai dengan
konsep yang sebelumnya.
Penilaian
formatif merupakan penilaian yang di lakukan pada setiap tahapan pembelajaran
berbasis pencapaian bukti aktivitas belajar siswa dalam rangka mencapai suatu
keterampilan tertentu. Dengan demikian, penilaian formatif sebenarnya merujuk
pada penilaianproses bukan semata – mata penilaian akhir hasil belajar. Marzano
(2006: 9) menyatakan bahwa penilaian kelas yang sesungguhnya adalah penilaian
formatif yang dilakukan secara rutin pada setiap proses pembelajaran. Lebih
lanjut, Tiemey, et,al (1991:35) menyatakan bahwa penilaian yang demikian akan
berfungsi untuk memberikan gambaran tentang perkembangan belajar siswa secara
jelas dalam mencapai tujuan tertentu serta mengetahui hal apa yang harus
dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja belajar siswa guna mencapai hasil
akhir yang optimal. Berdasarkan pandangan ini jelaslah bahwa penilaian formatif
bukan penilaian yang di lakukan pada akhir program melainkan dalam proses
pembelajaran itu sendiri.
Propham
(2011b: 6) menyatakan secara jelas bahwa penilaian formatif merupakan prosedur
terencana yang digunakan untuk menggambarkan status siswa secara jelas dalam
proses pembelajaran yang akan digunakan guru untuk meningkatkan taktik
belajarnya, lebih lanjut popham (2011b: 6) menyatakan bahwa formatif sebenarya
bukan semata – mata tes melainkan proses itu sendiri yakni proses yang
direncanakan secara cermat untuk menentukan sampai dimana siswa belajar.
Penilaian formatif bukanlah kumpulan tes sementara yang diadministrasikan
secara periodik untuk siswa. Penilaian formatif sesungguhnya adalah gambaran
kemajuan siswa belajar dalam meguasai satu kompetensi tertentu.
Bertemali
dengan pengertian diatas, penilaian formatif haruslah dilaksanakan secara
cermat oleh guru. Penilaian ini akan ditujukan untuk mengukur proses, peforma, dan produk belajar yang dihasilkan
siswa selama mengikuti pembelajaran. Oleh sebab itu, wajarlah jika Greenstein
(2010:6) menyatakan penilaian formatif sebagai penilaian yang dilakukan untuk
meningkatkan fokus pembelajaran, mengkreasikan pembelajaran, meningkatkan
kinerja guru dan siswa selama pembelajaran, dan meningkatkan hubungan antara
kurikulum, pembelajaran, dan penilaian, lebih lanjut wormwli (2006: 28) dan
browne (2007: 153) menyatakan bahwa penilaian formatif sesungguhnya adalah
penilaian otentik yang memantau perkembangan belajar siswa selama proses
pembelajaran secara utuh oleh sebab itu, wormeli dan browne menyarankan agar
memahami tes sebagai alat belajar dan alat merakit pembelajaran.
Berbeda
dengan formatif, penilaian sumatif lebih memfokuskan dari dalam menjaring data
berupa hasil belajar akhir yang harus dimiliki siswa. Penilaian ini berfungsi
untuk mengetahui apakah status kompetensi telah dikuasai siswa secara utuh atau
belum. Penilaian ini bukanlah penilaian yang dilakukan di akhir semester
melainkan penilaian yang dilakukan pada akhir pokok bahasan tertentu.
2.
penilaian pengetahuan dan penilaian peforma
Penilaian
pengetahuan merupakan penilaian yang dilakukan untuk megukur pengetahuan yang
dimiliki siswa. Dalam konteks ini, pengetahuan biasanya diukur berdasarkan
jenjang kognitif sebagai dikemukakan bloom (1956) yang telah di revisi kathwol,
et al (2001) meliputi tahap ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi,
mencipta instrumen utama yang biasanya digunakan.
Menurut
Popham (2011a) ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam membuat
penilaian kinerja beberapa kriteria evaluasi untuk penilaian kinerja adalah
sebagai berikut.
1. generalisasi hasil penilaian kinerja
harus dapat digeneralisasikan dengan penilaian orang lain
2
otentik penilaian harus mencerminkan konteks kehidupan nyata
3
banyak fokus dapat mengukur berbagai hasil belajar
4
dapat diterapkan dalam pembelajaran
5
adil harus memberikan penilaian sesuai dengan kemampuan siswa
6
Raya dapat digunakan karena ekonomis praktis dan efisien
7
berbasis skor penilaian harus menggunakan skor dan prosedur penskoran yang
jelas.
Dalam
praktik penilaiannya ada dua cara yang digunakan untuk menilai kinerja siswa
yakni cara holistik dan cara analitis. Cara holistik digunakan apabila para
pencela hanya memberikan satu buah skor atau nilai berdasarkan penilaian mereka
secara keseluruhan dari hasil kinerja peserta tes. Pada cara analitis
memberikan skor pada berbagai aspek yang berbeda yang berhubungan dengan
kinerja yang dinilai. Beberapa cara menskor kemampuan keterampilan atau
kemampuan kinerja peserta tes dengan metode analitik antara lain adalah dengan
cara menggunakan (1) ceklis dan (2) rating scale.
Popham
(2011a) menyatakan bahwa penilaian kinerja setidaknya memiliki tiga
karakteristik umum yaitu sebagai berikut.
a. multi kriteria, kinerja siswa harus
menggunakan penilaian yang memiliki lebih dari satu kriteria
b. standar kualitas yang spesifik,
masing-masing kriteria kinerja siswa dapat dinilai secara jelas dan eksplisit
dalam maju dan evaluasi kualitas kinerja siswa
c. adanya judgement penilaian, asesmen
kinerja membutuhkan penilaian yang bersifat manusiawi untuk menilai bagaimana
kinerja siswa dapat diterima secara nyata (real), bukan menilai dengan
menggunakan angka pada komputer atau mesin (seperti pada tes baku).
Dalam
konteks kurikulum 2013, penilaian kinerja menjadi penilaian penting yang akan
banyak digunakan guru. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa proses
pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013 akan ditekan pada pengembangan
keterampilan siswa. Oleh sebab itu, guru harus benar-benar menguasai teknik
pengembangan penilaian kinerja agar mampu menilai siswa secara tepat, valid dan
reliabel.
3.
penilaian proyek, produk dan portofolio
Proyek
adalah tugas yang harus diselesaikan dalam periode atau waktu tertentu. Tugas
tersebut berupa suatu investigasi sejak dari pengumpulan, pengorganisasian,
evaluasi hingga penyajian data karena dalam pelaksanaan proyek bersumber pada
primer atau sekunder, evaluasi dan hasil kerjasama dengan pihak lain. Proyek
merupakan suatu sarana yang sangat penting menilai kemampuan umum dalam suatu
bidang. Penilaian proyek dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan
mengaplikasikan, kemampuan penyelidikan dan kemampuan menginformasikan sesuatu
secara jelas.
Dalam
menerapkan penilaian proyek setidaknya ada 3 (tiga) hal yang perlu
dipertimbangkan guru yakni sebagai berikut.
a.
kemampuan pengelolaan
Kemampuan
peserta didik dalam memilih topik, mencari informasi dan mengelola waktu
pengumpulan data serta penulisan laporan.
b. relevansi kesesuaian dengan mata
pelajaran, dengan mempertimbangkan tahap pengetahuan, pemahaman dan
keterampilan dalam pembelajaran.
c.
Keaslian
Proyek
yang dilaksanakan peserta didik harus merupakan hasil karyanya. Dengan
mempertimbangkan kotribusi pendidik berupa petunjuk dan dukungan terhadap
proyek peserta didik (Depdiknas 2007a).
Penilaian
proyek dilakukan mulai dari perencanaan, proses pengerjaan, sampai hasil akhir
proyek. Untuk itu, guru perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu
dinilai, seperti penyusunan desain, pengumpulan data, analisis data dan
penyiapan laporan tertulis. Laporan tugas atau hasil proyek yang disajikan
dalam multi bentuk sesuai dengan tujuan proyek juga harus dinilai. Pelaksanaan
penilaian ini dapat menggunakan alat atau Instrumen penilaian berupa daftar cek
ataupun skala penilaian. Secara lebih rinci proses penilaian proyek harus
dilakukan pada setiap tahap proyek meliputi (1) tahap persiapan dengan aspek
yang dinilai meliputi penilaian kemampuan peserta didik dan merencanakan,
menggali dan mengembangkan gagasan, dan mendesain produk; (2) tahap pembuatan
dengan aspek yang dinilai meliputi penilaian kemampuan peserta didik dalam
menyeleksi dan menggunakan bahan, alat dan teknik; dan (3) tahap penilaian
produk (appraisal), dengan aspek yang dinilai meliputi penilaian kualitas
produk yang dihasilkan peserta didik sesuai kriteria yang ditetapkan.
Dalam
konteks kurikulum 2013, penilaian proyek akan banyak digunakan guru baik pada
jenjang Sekolah Dasar maupun jenjang Sekolah Lanjutan. Pada jenjang sekolah
dasa,r penilaian proyek bahkan akan lebih sering digunakan sebab penilaian ini
merupakan salah satu penilaian utama untuk mengukur kemampuan siswa
mengintegrasikan pemahaman dari berbagai Mata Pelajaran yang dipelajari nya.
Salah satu contoh penggunaan penilaian proyek dalam konteks pembelajaran
integratif adalah penilaian poster karya anak. Terhadap poster anak dapat
dilakukan penilaian dari 3 mata pelajaran sekaligus misalnya poster tentang
cara menanggulangi banjir, isinya dapat dinilai dari Dinilai dari mata
pelajaran IPA, bahasanya dapat dinilai dan pembelajaran bahasa Indonesia dan
kerapian dan keindahan gambar yang dapat dinilai dari mata pelajaran seni
budaya dan keterampilan.
Selain
penilaian proyek, penilaian produk merupakan penilaian yang akan banyak
digunakan dalam menilai kemampuan siswa dalam pembelajaran kurikulum 2013.
Penilaian produk adalah penilaian terhadap proses pembuatan dan kualitas suatu
produk. Penilaian produk meliputi penilaian kemampuan peserta didik membuat
produk-produk teknologi dan seni, seperti makanan, pakaian, hasil karya seni
(patung, lukisan, gambar) barang-barang terbuat dari kayu, kerami,k plastik dan
logam.
Dalam
menilai produk, guru dapat menggunakan dua cara sebagai menilai kinerja yakni
secara holistik atau analitis secara holistik yaitu berdasarkan kesan
keseluruhan dari produk, biasanya dilakukan pada tahap appraisal. Secara
analitis yaitu berdasarkan aspek-aspek produk, biasanya dilakukan terhadap
semua kriteria yang terdapat pada semua tahap proses pengembangan.
Penilaian
lain yang paling dianjurkan digunakan dalam pembelajaran pada kurikulum 2013
adalah penilaian portofolio. Portofolio dapat diartikan sebagai kumpulan hasil
evidence (objek penilaian) atau hasil belajar atau karya peserta didik dari
waktu ke waktu dan dari satu mata pelajaran yang lain. Penilaian portofolio dapat
diartikan sebagai kumpulan karya atau dokumen peserta didik yang tersusun
secara sistematis dan terorganisasi yang diambil selama proses pembelajaran,
digunakan guru dan peserta didik untuk menilai dan memantau perkembangan
pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik dalam mata pelajaran
tertentu.
Secara umum penilaian portopolio
dapat dibedakan ke dalam bentuk yang banyak dikenal dewasa ini, yaitu tinjauan
proses (process oriented) tujuan
hasil (products oriented). portopolio
proses (process oriental) adalah portopolio yang melakukan pada tinjauan
bagaimana perkembangan peserta didik dapat di amti dan di nilai dari waktu ke
waktu. Pendekatan ini lebih menekankan pada bagaimana peserta didik belajar,
berkreasi, termasuk mulai dari draf awal, bagaimana proses awal itu terjadi dan
tentunya sepanjang peserta didik dinilai.
Hal yang dinilai mencakup kemampuan
awal, di tengah atau di akhir suatu pekerjaan yang dilakukan peserta didik,
misalnya terdapat tiga draf awal. Kedua, perbaikan draf awal setelah mendapat
komentar dari guru atau teman satu kelompok. Ketiga, draf akhir. Hasil kerja
peserta didik dalam portopolio jenis ini biasanya proses pembuatan suatu karya
atau pekerjaan di diskusikan antara peserta didik lainnya. Salah satu bentuk
tujuan proses adalah portopolio kerja yaitu bentuk yang digunakan untuk memilih
koleksi evidence peserta didik yang
dilakukan dari hari ke hari.
Dalam dinia pendidikan, hasil
pekerjaan peserta didik yang paling baik menjadi petunjuk apakah peserta didik
telah meguasai kompetensi dasar yang telah ditentuhkan dan dapat dijadikan
bahan masukan bagi guru baik untuk mengetahui pencapaian kompetensi dasar
maupun indikator sebgai alat penilaian formatif. Berjalan dengan kenyataan ini,
fortopolio berfungsi untuk mengetahui perkembangan pengetahuan peserta didik
dalam mata pelajaran tertentu.
Portopolio ditinjau dari hasil products oriented adalah portopolio yang menekankan pada tujuan
hasil terbaik yang telah dicapai peserta didik. Tanpa memperhatikan bagaimana
proses untuk mencapai evidence itu
terjadi. Portopolio semacam ini bertujuan untuk mendokumentasikan dan
merefleksikan kualitas prestasi yang telah dicapai. Penilaian bentuk ini
biasanya memerluakn peserta didik untuk mengoleksi semua pekerjaan mereka
dimana pada suatu saat mereka harus menunjukkan evidence yang terbaik. Hasil
pekerjaan peserta didik yang paling baik menjadi petunjuk apakah peserta didik
telah memahami program pembelajaran yang telah ditentuhkan dan dapat dijadikan
sebagai bahan masukan bagi guru, baik untuk mengetahui pencapaian kurikulum
maupun sebagai alat penilaian formatif.
Portopolio produk selanjutnya dapat
juga dibedakan atas portopilio dokumentasi dan portopolio penampilan.
Portopolio dokumentasi adalah bentuk yang digunakan untuk memilih koleksi evendence peserta didik yang khusus
digunakan untuk penilaian. Portofolio dokumentasi adalah penilaian terhadap
koleksi pilihan daru sekumpulan evidence peerta didik dalam kurung waktu tertentu. Penilaian
portopolio dokumentasi diranang untuk menilai peserta didik yang terbaik dalam
satu kompetensi dasar atau indikator pencapaian belajar dalam kurung waktu
termsuk didalam proses yang digunakan untuk menghasilkan karya tersebut.
Portofolio penampilan adalah bentuk
yang digunakan untuk memilih evidence
yang paling banyak dikerjakan oleh peserta didik ataupun kelompok peserta
didik. Portofolio penampilan hannya berisi pekerjaan peserta didik yang telah
selesai, tidak mencakup proses pekerjaan, perbaikan, dalam penyempurnaa,
pekerjaan peserta didik. Portofolio penampilan sangat berguna untuk penampilan
yang bergantung pada seberapa tepat evidence
peserta didik telah menunjukkan
kemampuan sebenarnya.
Penilain prtofolio bertujuan sebagai
alat formatif maupun sumatif untuk memantau kemajuan persrta didik dari hari ke
hari dan untuk mendorong peserta didik dalam merefleksi pembelajaran mereka
sendiri. Portofolio dapat juga berfungsi sebagai alat untuk:
a. Melihat
perkembangan tanggung jawab peserta didik dalam belajar.
b. Perluasan
dimensi belajar
c. Pemahaman
kembali proses belajar mengajar
d. Penekan
pada pengembangan pandangan peerta didik dalam belajar.
e. Memberikan
informasi kepada orang tua tentang perkembangan peserta didik secara lengkap
dengan dukungan data dan dokumen yang akurat.
Portofolio
dianggap sebagai penilaian yang mampu mengukur pemahaman sekaligus keterampilan
yang dimiliki siswa. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa penilaian
portofolio memiliki karakteristik sebagaimana diuaikan dibawah ini.
a.
Multi sumber, artinya portofolio
memungkinkan untuk menilai berbagai macam evidence
b.
Otentik, artinya ditunjau dan konteks
mauun fakta harus berkaitan satu sama lain.
c.
Dinamis, artinya portofolio mencakup
perkembangan dan perubahan.
d.
Eksplisit, artinya semua tujuan pembelajaran
berupa kompetensi dasar dan indikator harus dinyatakan dengan jelas.
e.
Integrasi, portofolio senantiasa
berkaitan antara program yang dilakukan peserta didik dikelas dengan kehidupan
nyata.
f.
Kepemilikan, penilaian portofolio
menekankan pada adanya rasa kepemilikan, yaitu adanya keterkaitan antara evidence dengan kompetensi dasar dan
indikator yang telah ditentuhkan dalam rangka mencapai standar kompetensi
tertentu.
g.
Beragam tujuan, portofolio dilaksanakan
tidak hanya mengacu pada suatu standar kompetensi dasar, dan indikator
pemcapaian hasil belajar misalnya, tetapi juga mengacu keberbagai tujuan
misalnya beberapa indikator pencapaian hasil belajar.
4.
Penilaian Sikap, Penilaian diri, dan Penilaian Proses
Penilaian sikap merupakan penilaian
kelas terhadap suatu konsep psikologis yang kompleks. Dalam proses pembelajaran
penilaian sikap ini bermanfaat untuk mengetahui faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi proses pembelajaran dan juga sebagai feed back pengembangan pembelajaran. Pada umumnya penilaian sikap
dalam berbagai mata pelajaran dapat dilakukan berkaitan dengan objek sikap
sebagai berikut:
a. Sikap
terhadap mata pelajaran
b. Sikap
terhadap guru mata pelajaran
c. Sikap
terhadap proses pembelajaran
d. Sikap
terhadap materi pembelajaran
e. Sikap
berhubungan dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan dalam diri siswa melalui
materi tertentu.
f. Sikap
berhubungan dengan kompetensi anak
Pengukuran
sikap dilakukan dengan beberapa cara antara lain: observasi, penilaian diri,
penilaian teman, penggunaan jurnal. Observasi merupakan teknik penilaian yang
dilakukan guru secara berkesinambungan dengan menggunakan indra, baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan pedoman observasi yang berisi
sejumlah indikator perilaku yang diamati. Penilaian diri merupakan teknik
penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan
kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian kompetensi. Instrumen yang
digunakan berupa lembar penilaian diri atau lebih tepatnya adalah tes skala
sikap.
Skala sikap adalah sejenis angket
tertutup dimana pertanyaannya mengandung sifat-sifat dari nilai-nilai yang
menjadi tujuan pengajaran dan alternatif jawabannya mencerminkan atau
menampakkan sifat dari nilai yang dimiliki
siswa sebagai hasil belajarnya dalam bentuk bertingkat (rating). Nilai yang
paling cocok dievaluasi dengan skala sikap adalah yang bersifat rasional
sosial. Keuntungan menggunakan sekala sikap antara lain cepat dalam membuatnya,
dapat dipakai untuk jumlah siswa yang banyak, dapat dipakai berulang-ulang asal
tidak terjadi kebocoran. Menilai sikap dengan menggunakan skala sikap dapat
dilakukan siswa dengan mudah sebab siswa tinggal memberi tanta cek (centang)
pada skala yang menentuhkan sikap atau drajat dari sifat niali yang dimilikinya
pada setiap pertanyaan-pertanyaan.
Selain menggunakan skala sikap, yang
berarti siswa menilai dirinya sendiri, penilaian sikap dapat dilakukan melalui
penilaian “teman sejawat” (peer
evaluation) dan jurnal. Penilaian antar peseta didik merupakan teknik
penilaian dengan cara meminta peseta didik untuk saling menilai, terkait dengan
pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian antara
peserta didik adalah daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai
rubuk, jurnal merupakan catatan pendidik didalam dan diluar kelas yang berisi
informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang
berkaitan dengan sikap dan prilaku. Instrumen yang digunakan untuk menilai
sikap dengan menggunakan jurnal berupa catatan pendidik.
Penilaian diri adalah suatu teknik
penilaian dimana peserta didik diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan
dengan status, proses dan tinggkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya.
Teknik penilaian diri dapat digunakan untuk mengukur ompetensi kognitif,
afektif dan psikomotorik. Penilaian kompetensi kognitif dikelas, misalnya
peserta didik diminta untuk menilai penguasaan, pengetahuan dan keterampilan
berfikirnya sebagai hasil belajar dari suatu mata pelajaran tertentu. Penilaian
dirinya didasarkan atas kriteria ayau acuan yang telah disiapkan. Penilaian
kompetensi afektif, misalnya peserta didik dapat diminta untuk membuat tulisan
yang membuat curahan perasaannya terhadap suatu objek tertentu. Selanjutnya,
peserta didik diminta untuk melakukan penilaian berdasarkan kriteria atau acuan
yang telah disiapkan. Berkaitan dengan penilaian kompetensi psikomotorik,
peserta didik dapat diminta untuk menilai kecakapan atau keterampilan yang
telah dikuasainya berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapakan.
Penggunaan teknik ini dapat memberi
dampak positif terhadap perkembangan kepribadian seseorang. Keuntungan
penggunaan penilaian diri dikelas antara lain:
a.
Dapat menumbuhkan rasa percaya diri
peserta didik karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri.
b.
Peserta didik menyadari kekuatan dan
kelemahan dirinya, karena ketika mereka melakukan penilaian, harus melakukan
introfeksi terhadap kelemahan dan kekuatan yang dimilikinya.
c.
Dapat mendorong membiaskan, dan melatih
peserta didk untuk berbuat jujur, karena
mereka dituntut untuk jujur dan objektif dalam melakukan penilaian.
Dalam
mengimpementasikan penilaian diri selama proses penilaian, ada beberapa jenis
penilaian diri yang dapat digunakan, beberapa jenis penilaian diri yang dapat
digunakan tersebut diantaranya sebagai berikut:
a.
Penilaian langsung dan spesifik, yaitu
penilaian secara langsung, pada saat atau setelah melakukan tugas untuk menilai
aspek aspek kompetensi tertentu dari suatu mata pelajaran.
b.
Penilaian tidak langsung dan hilistik,
yaitu penilaian yang dilakukan dalam kurun waktu yang panjang, untuk memberikan
penilaian secara keseluruhan.
c.
Penilaian sosio-afektif, yaitu penilaian
terhadap unsur-unsur afektif atau emosional, misalnya peserta didik dapat
diminta untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu
objek tertentu. (Depdiknas 2007a)
Penilaian
dipandang memiliki kelemahan utama yankni bahwa ada kecendrungan peserta didik
akan menilai secara subjektif. Karena itu, penilaian diri harus dilakukan
berdasarkan kriteria yang jelas dan objektif. Untuk itu penilaian diri oleh
peserta didik dikelas perlu dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Menjelaskan kepada peserta didik tujuan
penilaian diri
b.
Menentuhkan kompetensi atau aspek
kemampuan yang akan dinilai
c.
Menentuhkan kriteria penilaian yang akan
digunakan
d.
Merumuskan format penilaian, dapat
berupa pedoman penskoran, daftar, tanda cek, atau skala penilaian.
e.
Meminta peserta didik untuk melakukan
penilaian diri
f.
Guru mengkaji hasil penilaian, untuk
mendorong peserta didik supaya senantiasa melakukan penilaian diri secara
cermat dan objektif.
g.
Lakukan tindakan lanjutan, antara lain
guru memberikan balikan tertulis, guru dan siswa membahas bersama proses dan
hasil penilaian (Setiamiharja, 2012)
Penilaian
proses merupakan penilaian yang dilakukan atas hasil kinerja selama proses
pembelajaran. Penilaian buakn mengukur aktif tidak aktif atau jenis pengukuran
kualitatif lainnya melainkan penilaian yang dilakukan atas capaian belajar yang
diperoleh siswa pada setiap tahapan belajar. Dengan demikian penilaian proses
bersifat formatif.
C. Penilain Otentik Dalam Konteks
Kurikulum 2013
Brown
(2004:4) menyatakan bahwa penilaian adalah metode yang digunakan untuk mengukur
kemampuan, pengetahuan, atau perfoma seseorang. Pengertian yang dikemukakan
brown ini lebih jelas memberika gambaran kepada kita bahwa penilaian dilakukan
sebagai sebuah metode pengukuran atas pengetahuan, kemampuan dan perfoma
seseorang. Lebih lanjut Brown (2004
; 5-7) menegaskan bahwa dalam penilaian pembelajaran dapat dibedakan beberapa
jenis penilaian, yakni penilaian formal dan informal, penilain diskret dan
integratif, dan penilaian perfoma. Berdasarkan jenis penilaian perfoma inilah
kemudian lahir istilah penilaian alternatif dan otentik yang saat ini sedang
banyak digunakan dalam dunia pendidikan.
Model penilaian otentik (auntentic assessment) dewasa ini banyak banyak dibicarakan didunia
pendidikan karena model ini derekomendasiakn atau bahkan harus ditekankan,
penggunaanya dalam kegiatan menilai hasil belajar. Salah satu permasalahan yang
muncul adalah belum tentu semua guru memahami konsep dan pelaksanaan penilaian
otentik. Jika sebuah konsep belum terpahami, bagaimana mungkin penilaian ini
akan digunakan untuk keperluan praktis pada kegiatan pembelajaran. Dalam hal
ini, mungkin saja orang menyangka atau mengatakan telah mempergunakan penilaian
otentik untuk menilai hasil belajar siswa, tetapi pada kenyataannya tidak
demikian.
Nurgiantoro
(2011:4) menyatakan bahwa pada hakikatnya penilaian otentik merupakan
kegiatan penilaian yang dilakukan tidak semata-mata untuk menilai hasil belajar
siswa, melainkan juga berbagai faktor yang lain, antara lain kegiatan
pembelajaran yang dilakukan itu sendiri. Artinya, berdasarkan informasi yang
diperoleh dapat pola dipergunakan sebagai umpan baik penilaian terhadap
kegiatan yang dilakukan. Dalm definisi yang lebih terfokus, Hart
(Gulikers, Bastiaens dan Kirschner,
2008) menyatakan bahwa penilaian otentik yaitu penilaian yang melibatkan
siswa didalam tugas-tugas otentik yang bermanfaat, penting, dan bermakna yang
selanjutnya dapat dikatakan sebagai penilaian perfoma. Hal senada juga
dijelaskan oleh Johnson dan johnson (2002:) bahwa penilaian otentik meminta siswa untuk
mendemonstrasikan keterampilan atau prosedur dalam konteks dunia nyata.
Authentic assessment requeres
students to denonstrate desired skill or procedure in real-life contexs. To
conduct an aunthentic assessment in science, for example: you may assign
students to research teams that work on a cure for cancer bay (1) cinducting an
experiment, (2) writing a lab report summarizing results (3) writing in
journal, and making oral presentation.
Bagnato (2007:
27) mendefinisikan authentic assessment sebagai berikut:
Assessment authentic is deliberate
plan for istigatnve the natural behavior of student. Information is captured
though direct observation and recordings. Interviews, rating scales, and
observed samples of the natural orfacilitated play and daily living skills of
all students. Authentic content invites teaching because the items are
pecursive to or are part of the curriculum.
Penilaian
otentic juga merupakan sebutan yang digunakan untuk menggambarkan tugas-tugas
yang riil yang dibutuhkan siswa-siswa untuk dilaksanakan dalam menghasilkan
pengetahuan memproduksi informasi. Sebagai contoh dalam pembelajaran membaca
seorang siswa belumlah dikatakan belajr secara secara bermakna bilamana dia
belum mampu menyusun prediksi, membuktikan prediksi, dan menceritakan kembali
isi bacaan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran sangat perlu dilakukan
penilaian otentik untuk menjamin pembentukan kompetensi riil pada siswa.
Secara lebih tegas Wormile (2006: 32) menyatakan bahwa
penilaian otentik mengacu pada dua aspek. Pertama penilaian otentik berhubungan
dengan bagaimana siswa mampu mengaplikasikan hasil belajarnya di dalam
kehidupan sehari-hari. Kedua, penilaian otentik, merupakan penilaian yang mampu
mengtahui secara jelas bagaimana siswa belajar dan hal-hal apa yang menyebabkan
siswa terdorong untuk belajar. Berdasarkan pandangan ini penilaian otentik
merupakan penilaian yang dilakukan dengan menekankan fungsi penilaian dalam dimensi
sosial dan juga dimensi edukatif. Penilaian semacam ini merupakan penilaian
yang berfungsi sebagai pemandu proses pembelajaran berbasis pembelajran
berdiferensiasi sehingga pembelajaran benar-benar memiliki prosedur yang
berurutan secaratepat sesuai keberadaan siswa.
Johnson,
et.el (2009:2) lebih jauh
mengatakan bahwa penilaian otentik pada dasarnya adalah penilaian perfoma yakni
penilaian yang dilakukan untuk mengetahui pengetahuan dan keterampilansiswa
selam proses pembelajaran dalam mencapai produk atau hasil belajar tertentu.
Penilaian otentik mementingkan penilaian proses dan sekaligus hasil. Dengan
demikian, seluruh perfoma siswa dalam rangkaian kegiatan pembelajaran dapat
dinilai secara objektif. Cara penilaian juga ermacam-macam serata dapat dilakukan
kapan saja bersamaan dengan kegiatan pembelajaran. Namun, semuanya harus tetap
terencana secara baik. Penilaian yang dulakukan lewat berbagai cara atau model,
menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang
kemudian disebut sebagai penilaian otentik. Otentik dapat berarti dan sekaligus
menjamin objektif, nyata, konkret, benar-benar hasil tampilan siswa, serta
akurat dan bermakna.
Senada dengan beberapa pendapat
diatas, Gulikers, Bastiaens dan Kirschner
(2008:76) menyatakan :
The definition of authentic
assessment is an assessment requiring students to demonstrate the same (kind
of) competencies, or combinations of knowledge, skills, and attitudes, that
they need to apply in a criterion situation derived from professional practice.
The level of authenticity of an assessment is thus defi ned by its degree of
resemblance to the criterion situation. This idea is extended and specifi ed by
the theoretical framework describing that an assessment can resemble a
criterion situaion along a number of dimensions.
Lebih lanjut Richardson, ed, el. (2009:58-59), menjelaskan bahwa:
The term authentic assessment
prefer to alternative assessment, authentic assessment offers a viable
solution. This term often refers to assessment that takes is actually used or
applied place in naturalistic situations that resemble the settings in witch a
skill or knowladge, the context for authentic assessment might include
observing a performance ao simulation or completing a task in a real-world
situation. Students will want to do well because the real world consequences
are clear. The process of completing the task reveals as much (or more) about
the student’s learning as the product recorded as a test grade.
Berdasarkan
beberapa pengertian diatas, sangat jelas bahwa penilaian otentik sangat terkait
dengan upaya pencapaian kompetensi. Kompetensi adalah pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang terunjukkerjakan dalam kebiasaan berfikir dan
bertindak dalam suatu persoalan yang dihadapi. Ciri utama kompetensi adalah
mampu mengerjakan sesuatu, yaitu siswa dapat melakukan sesuatu berdasarkan
pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya. Melalui penilaian otentik, hal
tersebut sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, KTSP dengan jelas menyarankan
guru untuk mengurangi menggunakan tes-tes objektif.
Menurut Mueller (Nurgiyantoro, 2011) asesmen otentik
adalah suatu penilaian belajar yang merujuk pada situasi atau konteks dunia
“nyata” yang memerlukan berbagai macam pendekatan untuk memecahkan maslah yang
membenarkan kemungknan bahwa satu masalah bisa mempunyai lebih dari satu macam
pemecahan. Dengan kata lain, asesmen otentik memonitor dan mengukur kemampuan
siswa dalam bermacam-macam kemungkinan pemecahan mmasalah yang dihadapi dalam
situasi atau koteks dunia nyata dan dalam suatu proses pembelajaran nyata.
Dalam suatu proses pembelajaran, penilaian otentik mengukur, memonitor dan
menilai semua aspek hasil belajar (yang tercakup dalam domain, kogitif, afektif
dan psikomotorik), baik yang tampak sebagai hasil akhir dari suatu proses
pembelajaran, maupun berupa perbahan danperkembangan aktivitas, dan perolehan
belajar selama proses pembelajaran dalam kelas maupun diluar kelas.
O’Malley
dan Pierch (1996:4)
mendefinisikan authentic assessment sebagai berikut:
Authentic assessment is an
evaluation process that involves
multiple forms of perfimance assessment reflecing the student’s learning
achievement, motivation, and attitudes o instructionally-relevant activities.
Example of authentic assessment technucques include performance assessment,
portofolio, and self-assessment.
Senada dengan pendapat diatas, Dorn, et, al. 2004:98) menyatakan
bahwa:
Authentic assessment requires the
constructions of alternative assessment items. Alternative assessment is
considered one alternative to what is traditional (objective tests eassay). It
also is focused an student performance, which is observable evidence of what
students know and can do. Authentic assessment calls for authentic
performances, which include Real-life decisions. Authentic lerning in art
implies purposeful, meaningful application of revant information, as opposed to
the acquiring of factul knowledge for its own sake. Its also inspires changes
in curricular practices in the assessment process.
Sejara
dengan uraian tentang pengertian penilaian otentik di atas, dapat disarikan
bahwa penilaian otentik adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar
siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami
proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru
mengidentipikasi bahwa siswa mengalami
kesulitan dalam belajar, guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa
terbebas dari kesulitan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu
diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, penilaian ini tidak dilakukan di akhir priode saja (akhir semester). Oleh
sebab itu, kegiatan penilaian dilakukan secara integratif dengan gegiatan
pembelajaran. Penilaian semacam ini dapat disebut sebagai penilaian otentik.
Richardson, et al.
(2009: 59) mengemukakan beberapa karakteristik penilaian otentik sebagai
berikut.
1.
Berisi seperangkat tugas penting yang
dirancang secara luas dalam merepresentasikan bidang kajian tertentu.
2.
Menekankan kemampuan berpikir tinkat
tinggi.
3.
Kritria selalu diberikan di muka
sehingga siswa tahu bagaimana mereka akan dinilai.
4.
Penilaian berpadu dalam kerja kurikulum
sehari-hari sehingga sulit untuk membedakan antara penilaian dan pembelajaran.
5.
Peran guru berubah dari penyampai
pengetahuan (atau bahkan antagonis) menjadi beperan sebagai fasilitator, model,
dan teman dalam belajar.
6.
Siswa mengetahui bahwa akan ada
presentasi di hadapan publik atas pekerjaan yang telah dicapai sehingga mereka akan sungguh-sungguh mengerjakan tugas
tersebut.
7.
Siswa tahu bahwa akan ada pemeriksaan
baik dari proses yang mereka digunakan dalam pembelajaran dan produk-produk
yang dihasilkan dari pembelajaran.
Sejalan dengan Richardson, et al.,
Marhaeni (2005) mengungkapkan bahwa secara garis besar, penilaian otentik
memiliki sifat-sifat (1) berbasis kompetensi yaitu garis besar, penilaian yang
mampu memantau kompotensi seseorang; (2) bersifat individu karena kompetensi
tidak dapat disamaratakan pada semua orang, tetapi bersipat personal; (3)
berpusat pada peserta didik karena direncanakan dilakukan, dan dinilai pleh
guru dengan melibatkan secara optimal perserta didik sendiri; (4) otentik
(nyata, riil seperti kehidupan sehari-hari) dan sesuai dengan proses
pembelajaran yang dilakukan, sehingga penilaian otentik berlangsung secara; (5)
teritegrasi dengan proses pembelajaran; (6) penilaian otentik bersifat on-going
atau berkelanjutan sehingga penilaian harus dilakukan secara langsung pada saat
proses belajar mengajar berlangsung sehingga proses dan produk belajar dapat
terpantau.
Moon
(2005) menyatakan beberapa karateristik penilaian otentik sebagai berikut.
1. Are
focused on contet that is essential, focusing on the big ideas or concepts,
rather than trival microfacts or specialized skills;
2. Are
in-depth in that they lead to other problems and questions;
3. Are
feasible and can be done easily and safely within a school and classroom;
4. Focus
the ability to produce a quality produci or performance, rather than a single
right answer;
5. Promote
the developmen and display of student strengths and expertise (the focus is on
what the student knows);
6. Have
criteria that are known, umderstood, and negotiated between the teacher and
student before the assessment begins’
7. Provide
multipe ways in which students can demonstrate they have mel the criteria,
allowing multiple points of view and multiple interpretations;
8. Require
scoring that focuses on the essence of the task and not what is easiest to
score.
Lebih lanjut Marhaeni (2005)
menyimpulkan bahwa ada beberapa pembaharuan yang tampak pada penilaian otentik
yaitu; (1) melibatkan siswa dalam tugas yang penting, menarik, berfaedah dan
relevan dengan kehidupan nyata siswa; (2) tampak dan trasa sebagai kegiatan
belajar, bukan tes tradisional; (3) melibatkan keterampilan berpikir tingkat
tinggi dan mencakup pengetahuan yang luas, (4) menyadarkan siswa tantang apa
yang harus dikerjakannya akan dinilai; (5) merupakan alat penilaian dengan
latar stadar (standar setting), bukan alat penilaian yang distandarisasikan;
(6) berpusat pada siswa (student centered) bukan berpusat pada guru (teacher
centered); (7) dapat menilai siswa yang berbeda kemampuan, gaya belajar dan
latar belakang kulturnya.
Secra
lebih tegas, Mueller(Nurgyantoro, 2011: 26) menyatakan bahwa penilaian otentek
memiliki karaktristik sebagai berikut.
1. Misi
sekolah adalah mengembangkan warga negara yang produktif.
2. Untuk
menjadi warga negara produktif, seseorang harus mampu menunjukkan penguasaan
melakukan sesuatu secara bermakna dalam dunia nyata.
3. Sekolah
mesti mengembangkan siswa untuk dapat mendemontrasikan kemampuan/keterampilan
melakukan sesuatu.
4. Untuk
mengukur keberhasilan pembeljaran, guru harus meminta siswa melakukan aktivitas
tertentu secara bermakna yang mencerminkan aktivitas di dunia nyata.
5. Penilaian
memandu pembelajarn, hal yang pertama
harus dilakukan guru adalah pertimbangan tugas yang harus
didemintrasikan oleh siswasebagai bentuk penguasaan performa atau tugas
tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas,
penilaian otentik memiliki sifat berpusat pada perserta didik, teritgerasi
dengan pembelajaran, otentik, berkelanjutan, dan individu. Sifat penilaian
otentik yang komprensif juga dapat membentuk unsur-unsur metakognisi dalam diri
perserta didik seperti kemauan mengambil risiko, kreatif, mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi dan berpikir kreatif, tanggung jawab terhadap
tugas dan karya, dan rasa kepemilikan.
Penilaian otentik sebenarnya telah
dikenal di dunia pendidikan, tetapi baru naik daun era ktsp. Sebenarnya, bentuk-bentuk
penilaian otentik bukan merupakan barang asing bagi pendidik di indonesia
karena sebagian guru telah melakukan penilaian model itu. Hanya memang pada
umunya guru telah melakukan penilaian model tradisional. Penilaian tradisional
dalam kaitan ini dilihat sebagai penilaian yang lebih banyak menyadap
pengetahuan yang telah dikuasai siswa sebagai hasil belajar yang pada umumnya
ditagih lewat bentuk-bentuk tes objektif. Di pihak lain, penilaian otentik
lebih menekankan pada pemberian tugas yang menuntut pembelajar menampilkan,
mempraktikkan, atau mendemontrasikan hasil pembelajaran di dunia nyata secara
bermakna yang mencerminkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan dalam suatu
mata pelajaran. Singkatnya, penilaian tradisional lebih menekankan tagihan
penguasan pengetahuan, sedangkan penilaian otentik kinerja atau tampialan yang
mencerminkan penguasan pengetahuan dan keterampilan. (Nurgiyantoro, 2008)
Selain hal-hal di atas, hal laian yang
membedakan kedua jenis penilaian tersebut, jika dubuat secara pilah dikotomis,
adalah berupa perbedaan antara: (i)
memilih jawaban dan menunjukkan suatu aktivitas; (ii) menunjukkan penguasaan
pengetahuan dan mendemontrasikan kemampuan dengan melakukan sesuatu; (iii)
memanggil kembali atau rekognisi dan mengonstruksi atau aflikasi; (iv) soal dan
jawaban disusun guru dan siswa menyusun sendiri jawaban; dan (v) bukti tidak
langsung dan bukti langsung (faktual) (Marhaeni 2005).
D. Keutamaan Penilaian Otentik
Dalam Konteks Kurikulum 2013
Berbicara tentang keutamaan penilanian
otentik akan sangat bertemali dengan berbagai sudut pandang. Dalam sudut
pandang penilaian sendiri, penilaian otentik memiliki kehutanan dibanding
dengan jenis penilaian lain. Keutamaan penilaian otentik dibanding penilaian
jenis lain di kemukakan Newmann, et.at.(1995: 3-4) sebebagai berikut;
1. Penilaian
otentik memiliki legitimasi yang jelas dalam hal bahan ajar, keterampilan, dan
karakter sehingga bahan ajar, keterampilan, dan karakter yang terkandung dalam
penilaian otentik di anggap penting dan dibutuhkan dalam proses belajar
mengajar maupun bagi kehidupan sehari-hari siswa.
2. Penilaian
otentik mampu menilai secara akurat kemampuan siswa sejalan dengan capaian
perkembangan yang diperolehnya dalam setiap tahapan pembelajaran. Atas dasar
keakuratan ini, hasil penilaian otentik dapat secara langsung menyentuh
pemecahan masalah belajar yang dibutukan para siswa.
3. Penilaian
otentik merupakan penilaian yang mengutamakan kebermaknaan belajar sehingga
penilaian otentik menuntut siswa untuk membanguan pengetahuannya sendiri
melalui pola-pola inkuiri dan sekaligus mengembangkan nilai-nilai kehidupan
yang berguna bagi siswa bukan hanya di sekolah tetapi juga dalam kehidupannya
di masyarakat.
Senada dengan pendapat di atas,
Mueller (Nurgiyantoro, 2011:24-25) juga mengemukakan beberapa keutamaan
penerapan penilaian otentik dalam pembelajaran. Beberapa kehutanan tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Pertama,
penggunaan penilaian otentik memungkinkan dilakukannya pengukuran secara
langsung terhadap kinerja pemelajar sebagai indikator capaian kompetensi yang
dibelajarkan.
2. Kedua,
penilian otentik memberi kesempatan pemelajar untuk mengonstruksikan hasil
belajar. Dengan penilaian otentik pemelajar dimintak untuk mengonstruksi apa
yang telah diperoleh ketika mereka dihadapkan pada situasi konkret. Dengan cara
ini pemelajar akan menyeleksi dan menyusun jawaban berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki dan analisis situasi yang dilakukan agar jawabannya relevan dan
bermakna.
3. Ketiga,
penilaian otentik memungkinkan terintegrasikannya kegiatan pengajaran, belajar,
dan penilaian menjadi satu paket kegiatan yang terpadu. Ketiga hal tersebut,
merupakan satu rangkaian yang memang sengaja didesain demikian. Ketiga guru
membelajarkan suatu topik dan pembelajar aktif mempelajar, penilaiannya bukan
semata berupa tagihan terhadap penguasaan topik itu, melainkan pembelajar juga
dimintak untuk berunjuk kerja memperaktikannya dalam sebuah situasi konkret
yang sengaja diciptakan.
4. Keempat,
penilaian otentik memberi kesempatan pemelajar untuk menampilkn hasil
belajarnya, unjuk kerjanya, dengan cara yang dianggap paling baik. Singkatnya,
model ini memungkinkan pemelajar memilih sendiri cara, bentuk, atau tampilan
yang menurutnya paling efektif.
Sejalan dengan pendapat di atas,
pengguanaan penilaian otentik dalam proses pembelajaran dinilai sangat penting
oleh berbagai pihak. Kemendikbud (2013) bahkan secara tegas menyatakan bahwa
proses penilaian dalam kurikulum 2013 harus bergeser dari penilaian
konvensional menuju penilaian otentik. Hal ini disebabkan model
pembelajaran yang ditawarkan kurikulum 2013 mengharuskan guru menggunakan
penilaian otentik. Penggunaan penilaian otentik ini diyakini akan mampu
memberikan kemampuan siswa dalam menyelesaikan persoalan nyata sekaligus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mampu berpikir, bertindak, dan
berkerja secara sistematis bukan dengan jalan menerabas. Menilik pernyataan
terakhir ini, penilaian otentik berfungsi juga dalam membentuk sikap dan moral
siswayang selanjutnya dapat kita katakan membentuk karakter baik pada diri
siswa.
Selain kemendukbud, Fulcher dan
davidson (2007: 51) mengemukakan bahwa sistem pembelajaran yang dilakukan saat
ini masih menempatkan tes sebagai pelengkap proses pembelajaran. Kondisi
semacam ini harusnya mulai dihilangkan dan sebaliknya setelah yang menjadi
pemandu pembelajaran. Konsep semacam ini dikenal dengan istilah Test Driven
Instruction. Konsep test driven instruction merupakan sebuah konsep yang
meyakini bahwa mutu proses pembelajaran akan mampu meningkatakan dengan optimal
jika pembelajaran dipandu oleh serangkaian kegiatan penilaian. Kegiatan
penilaian tersebut tentu saja adalah penilaian otentik yang padah dasarnya
dimaksudkan untuk menilai setiap aktivitas yang dilakukan siswa selama
pembelajaran. Jika siswa selama selama pembelajaran hanya mendengarkan cerama
guru, proses pembelajaran sebenarnya tidak sedang terjadi dalam kelas tesebut.
Peranini diyakiniakan mampu mendongkrak mutu proses pembelajaran yang lebih
berorientasi pada pembentukan kemampuan siswa.
Sejalan
dengan Fulcher dan Davison, Hill dan Ruptic (1948: 8) menegaskan bahwa
penilaian otentik tidak hanya sekedar menuntut siswa untuk mendemonstrasikan
perilaku tertentu atau melengkapi tugas tertentu, melainkan tugas harus mampu
mengunjukkerjakan sesuatu secara nyata dalam setiap tahapan pembelajaran di
dalam kelas dan bahkan dalam kehidupan sehari-harinya. Berdasarkan kenyataan
ini penilaian otentik akan menetapkan standar terukur yang mampu menilai siswa
secara utuh dan tepat.
Pentingnya
penilaian otentik dalam berbagai tahapan proses pembelajaran juga dikemukakan
oleh Mormeli, Wormeli (2006: 33) menyatakan bahwa guna meningkatkan mutu proses
pembelajaran harus telah diterapkan penilaian otentik yang mampu mengukur
kemampuan siswa secara tepat dan sekaligus mampu dijadikan dasar pengembangan
proses pembelajaran. Tiga jenis penilaian otentik tersebut meliputi penilaian
portofolio, rubik dan penilaian diri. Lebih lanjut Wormeli (2006: 34)
mengemukakan bahwa penggunaan penilaian autentik merupakan sebuah pengembangan pembelajaran
berbasis keadilan sekaligus mengembangkan nuansa demokratis dalam pembelajaran.
Menilik pernyataan ini, wormeli secara tidak langsung mengemukakan bahwa
penilaian otentik mampu mendidik guru menjadi model pembinaan karakter dalam
proses pembelajaran dan sekaligus mampu mengembangkan karakter para siswanya.
Penerapan
penilaian sebagai pemandu proses pembelajaran yang dikemukakan para ahli diatas
inilah yang selanjutnya melahirkan istilah Test
Driven Fra. Hal ini berarti sudah saatnya lah tes atau penilaian digunakan
sebagai pemandu Proses pembelajaran. Melalui penilaian yang baik akan tercipta
sebuah proses pembelajaran yang baik. Bertemali dengan konsep ini secara tegas Popham (2003) secara khusus menulis
buku Test Better, Teach yang
didalamnya menunjukkan dan membuktikan bahwa penilaian yang baik aka membuat
pembelajran menjadi baik. Popham (2003:6)
secara detail menjelaskan bahwa penilaian dapat menjadikan sebagai sarana
pengembangan kurikulum dan mengimplementasikannya dalam kegiatan pembelajran.
Tentang
penggunaan penilaian sebagai pengembangan standar pembelajaran juga dikemukakan
oleh Weeden, et al. (2003: 12) menjelaskan bahwa sebuah proses pembelajaran yang
standar hannya dapat dibentuk melalui penilaian yang baik. Lebih lanjut mereka
menyarankan bahwa melalui pemanfaatan penilaian inilah akan terbentuk standar
proses pembelajaran sekaligus terbentuk standar hasil pembelajaran yang
diharapkan. Melihat kondisi ini penggunaan penilaian khususnya penilaian
otentik sangat berpotensi dalam mengembangkan mutu proses dan hasil
pembelajaran di samping membentuk karakter pada diri siswa.
Picone-Zocchia (2009:
73) lebih lanjut menyatakan bahwa kata kunci untuk mengubah cara mengajar dan
mengubah cara siswa belajar adalah melalui pemanfaatan penilaian berbasis otak
selama pembelajaran. Menurutnya tidak ada cara paling jitu menciptakan siswa
menjadi seorang yang strategik selain menerapkan penilaian yang berorientasi
pada kesanggupan siswa menyelesaikan masalah kehidupan nyata dan penilaian yang
berorientasi pada pengukuran ketercapaian otentik yang diperoleh siswa.
Pernyataan ini semakin memperkuat kedudukn penilaian otentik dalam proses
pembelajran sekaligus mengembangkan karakter siswa.
Bertemali
dengan berbagai pendapat diatas, pertanyaan yang pertama muncul dalam tulisan
ini bisakah pembelajaran berbasis akademik dan berbasis karakter dilakukan
sekaligus sudah terjawab. Jawabannya tentu saja bisa. Lickona (2004: 121) telah secara jelas menyatakan bahwa
pembelajaran yang berorientasi pada proses akan mampu mengembangkan akademik
siswa. Selanjutnya Wormeli (2006:
35) menyatakan guna mengembangkan proses pembelajran yang demikian diperlukan
peilaian model penilaian otentik.
E.
Mendesain Penilaian Otentik Dalam Konteks Kurikulum 2013
Ada beberapa
langkah yang harus dilakukan ketika akan melakukan penilaian otentik. Rhodes dan Shanklin (Richardson, 2009: 60) menyatakan 3 langkah awal untuk
mengembangkan penilaian otentik di dalam kelas. Tiga langkah tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Biarkan siswa menggunakan bahasa dalam
konteks sosial yang alami.
2.
Berikan pilihan siswa baik dalam bahan
maupun kegiatan untuk memastikan mereka akan menemukan tujuan yang jelas dan
asli selama pembelajaran membaca dan menulis.
3.
Ikuti fokus arah siswa untuk
berkomunikasi secara alami melalui interaksi dengan orang lain.
Johnson, et
el. (2009:36) menjelaskan bahwa ada lima langkah utama dalam mengembangkan
penilaian otentik. Kelima langkah tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Menentuhkan
konten. Pada kegiatan ii yang haru dilakukan adalah menentuhkan jenis penilaian
yang akan digunakan, materi ajar yang akan diujikan, proses yang harus ditempuh
oleh siswa, dan spetifikasi materi dan keterampilan yang akan diujikan.
2. Mengembangkan
tugas. Pada tahap ini yang harus dilakukan adalah menentuhkan jumlah tugas,
waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan setiap tugas, format respons yang
dibutuhkan, materi pendukung yang dibrikan, dan contoh materi dan kriteria
penskoran.
3. Mengadriministasikan
tes. Pada tahap ini yang harus dilakukan adalah menyusun manual penilaian,
mnguji kesesuaian materi dengan siswa yang akan diukur, menyusun petunjuk umum
penilaian, menyusun jadwal penilaian dan menyiapkan alat teknologi pendukung.
4. Menskor
dan melaporkan. Pada tahap ini yang harus dilakukan adlalah melaksanakan penilaian
sesuai dengan tugas yang telah ditetapkan dan mengembangkan panduan
interprstasi skor dan interprestasi hasil penilaian.
5. Meninjau
ulang penilaian. Pada tahap ini yang harus dilakukan kegiatan pengujian
validitas, reliabilitas, dan revisi penilaian jika diperlukan.
Secara lebih teknis dan
jelas, Mueller (Nurgiyantoro, 2011) dan Newmann
et al. (1995) mengemukakan sejumlah langkah yang perlu ditempuh dalam
pengembagan penilaian otentik, yaitu yang meliputi (i) menentuhkan standar (ii)
Penentuan tugas otentik, (iii) pembuatan kriteria; dan (iv) pembuatan rubric.
Keeempat langkah yang di kemukakan Muller (Nurgiyantoro, 2011: 30-33) dan
newman (1995: 61-63) ini disajikan sebagai berikut:
1. Penentuan Standar
Standar dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan tentang apa
yang harus diketahui atau dapat ,dilakukan pembelajar. Di samping standar ada
goal (tujuan umum) dan objektif (tujuan khusus), dan standar berada diantara
keduanya. Standar dapat diobservasikan (observable) dan diukur (measurable)
ketercapaiannya. Istilah umum yang dipakai didunia pendidikan di Indonesia
untuk standar adalah kompetensi sebagaimana terlihat pada KBK dan KTSP. Di
kurikulum tersebut dikenal adanya istilah standar kompetensi lulusan dan
kompetensi dasar. Standar kompetensi lulusan kualifikasi kemampuan lulusan yang
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan(FP No.19 Tahun 2005:2), sedang
kompetensi dasar adalah kompetensi atau standar minimal yang harus tercapai
atau dikuasai oleh pembelajar.
2. Penentuan Tugas
Otentik
Tugas otentik adalah tugas-tugas yang secara nyata
dibebankan kepada pembelajar untuk mengukur pencapaian kompetensi yang
dibelajarkan, baik ketika kegiatan pembelajaran masih berlangsung atau ketika
sudah berakhir. Pengukuran hasil pencapaian kompetensi pembelajar yang secara
realistic dilakukan dikelas dapat bersifat model tradisional atau otentik
sekaligus tergantung kompetensi atau indikator yang akan diukur tugas otentik
(authentic assessment) walau sebenarnya cakupan makna yang kedua lebih luas.
Permasalahan yang segera mucul adalah tugas-tugas agar model-model pengukuran
apa yang dapat dikategorikan sebagai tugas atau penilaian otentik.
Semua kegiatan pengukuran pendidikan harus mengacu pada
standar( standar kompetensi, kompetensi dasar) yang telah ditetapkan. Demikian
pula halnya dengan pemberian tugas-tugas otentik. Pemilihan tugas-tugas
tersebut pertama-tama haruslah menunjuk pada kompetensi mana yang akan diukur
pencapaiannya. Kedua, dan inilah yang khas penilaian otentik, pemilihan
tugas-tugas itu harus mencerminkan
keadaan atau kebutuhan yang sesungguhnya di dunia nyata. Jadi, dalam
sebuah penilaian otentik masih terkandung dua hal sekaligus. Sesuai dengan
standar(kompetensi) dan relevan (bermakna) dengan kehidupan nyata. Dua hal
tersebut haruslah menjadi acuan kita ketika membuat Tugas-tugas otentik untuk
mengukur pencapaian kompetensi pembelajaran kepada peserta.
Dengan demikian, apa yang ditugaskan oleh guru kepada
pemelajar yang dilakukan oleh pemelajar telah mencerminkan kompetensi yang memang
dibutuhkan dalam kehidupan nyata. Hal itu berarti ada keterkaitan antara dunia
pendidik di satu sisi dengan tuntutan kebutuhan kehidupan di dunia nyata di
sisi lain (Mueller dalam Nurgiyantoro,2011:30-33).
3. Pembuatan Kriteria
Jika standar (kompetensi, kompetensi dasar) merupakan
arah dan acuan kompetensi pembelajaran yang dibelajarakan oleh pendididk dan
sekaligus akan dicapai dalam oleh subjek didik, proses pembelajaran haruslah
secara sadar diarahkan ke capaian kompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Demikian pula hal nya dengan penilaian yang dimaksudkan untuk mengukur kadar
capaian kompetensi sebagai bukti hasil belajar. Untuk itu, diperlukan kriteria
yang dapat mengambarkan capaian kompetensi yang dimaksud. Kriteria merupakan
nyataan yang menggambarkan tingkat capaian dan bukti-bukti nyata capaian
belajar subjek belajar dengan kualitas tertentu yang diinginkan. Kriteria
lazimnya juga telah dirumuskan sebelum pelaksanaan pembelajaran dalam kurikulum
berbasis kompetensi kriteria lebih dikenal dengan sebutan indikator.
Dalam kegiatan pembelajaran, semua kompetensi yang
dibelajarakan harus diukur kadar capaian nya oleh pemelajar, semua kompetensi
yang dibelajarkan harus diukur kadar capaiannya oleh pemelajar. Jika dalam
lingkup penilaian otentik harus melibatkan dua macam relevansi, yaitu sesuai
dengan kompetensi dan bermakna dalam kehidupan nyata, kriteria atau indikator
penilaian dikembangkan harus juga mengandung kedua tuntutan tersebut.
Singkatnya sebuah kriteria penilaian capaian hasil belajar harus cocok dengan
kompetensi dan bermakna dalam kehidupan nyata. Jumlah kriteria yang dibutuhkan
bersifat relatif, tetapi sebaiknya dibatasi, dan yang pasti kriteria harus
mengungkap capain hal-hal yang esensial dalam sebuah standar (kompelensi) karena
hal itulah yang menjadi inti penguasaan terhadap kompetensi pembelajaraan. Kita
tidak mungkin menagih semua tugas yang di belajarakan dan sekaligus dipelajari
subjek didik.
Selain itu, pembuatan kriteria harus mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang selama ini dinyatakan baik, baik dalam arti efektif
untuk keperluan penilaian hasil belajar. Ketentuan-ketentuan itu antara lain
harus dirumuskan secara jelas: singkat padat, dapat diukur, dan karena nya
haruslah dipergunakan kata-kata kerja operasional: menunjuk pada tingkah laku
hasil belajar, apa yang mesti dilakukan dan bagaimana kualitas yang dituntut:
dan sebaiknya ditulis dalam bahasa yang dipahami oleh subjek didik. Perumusan
kriteria yang jelas dan operasional akan mempermudah kita, para guru untuk melakukan
kegiatan penilaian (Mueller dalam Nurgiyantoro, 2011:30-33).
4. Pembuatan Rubrik
Penilaian otentik menggunakan pendekatan penilaian acuan
kriteria (criterion referenced measures)
untuk menentukan nilai capaian subjek didik. Dengan demikian, nilai seorang
pemelajar ditentukan seberapa tinggi kinerja ditampilkannya secara nyata yang
menunjukan tingkat capaian kompetensi yang dibelajarkan. Untuk menentukan
tinggi rendahnya skor kinerja yang dimaksud, haruslah dipergunakan alat skala
untuk memberikan skor-skor tiap kriteria yang telah ditentukan. Alat yang
dimaksud disebut rubrik (rubric). Rubrik dapat dipahami sebagai sebuah skala
penskoran (scoring scale) yang dipergunakan untuk menilai kinerja subjek didik
untuk tiap kriteria terhadap tugas-tugas tertentu (Mueller dalam Nurgiyantoro,
2011:30-33).
Dalam sebuah rubrik terdapat dua hal pokok yang harus
dibuat, yaitu kriteria dan tingkat capaian kinerja (level of performance) tiap
kriteria. Kriteria berisi hal-hal esensial standar (kompetensi) yang ingin diukur
tingkat capaian kinerjanya yang secara esensial dan konkret mewakili standar
yang diukur capaiannya. Dengan membatasi kriteria pada hal-hal esensial, dapat
dihindari banyaknya kriteria yang dibuat yang menyebabkan penilaian menjadi
kurang praktis. Selain itu, kriteria haruslah dirumuskan atau dinyatakan (jadi:
berupa pernyataan dan bukan kalimat) singkat padat, komunikatif, dengan bahasa
yang gramatikal, dan benar-benar mencermikan hal-hal esensial (dari
standar/kompetensi) yang diukur. Dalam sebuah rubrik, kriteria mungkin saja
atau boleh juga dibeli dengan kata-kata tertentu yang lebih mencerminkan isi,
misalnya dengan kata-kata: unsur yang dinilai.
Tingkat capaian kinrja, dipihak lain, umumnya ditunjukkan
dalam angka-angka, dan yang lazim adalah 1-3 atau 1-5, besar kecilnya angka
sekaligus menunjukkan tinggi rendahnya capaian. Tiap angka tersebut biasanya
mempunyai deskripsi verbal yang diwakili, misalnya skor 1: tidak ada kinerja,
sedang skor 5: kinerja sangat meyakinkan dan bermakna. Bunyi deskripsi verbal
tersebut harus sesuai dengan kriteria yang akan diukur. Yang pasti terdapat
banyak variasi dalam pembuatan rubri, juga untuk kriteria dan angka tingkat
capaian kinerja. Penilaian tingkat capaian kinerja seorang pemelajar dilakukan
dengan menandai angka-angka yang sesuai. Rubrik lazimnya ditampilkan dalam
lebel, kriteria ditempatkan di sebelah dan tingkat capaian di sebelah kanan
tiap kriteria yang di ukur capaiannya itu. Rubrik dapat juga dibuat secara
analitis (analytic rubrics) dan holistik (holistic rubrics). Rubrik analitis
menunjuk pada rubrik yang memberikan penilaian tersendiri untuk tiap kriteria.
Setiap kriteria mempunyai nilai tersendiri. pada umumnya, rubrik bersifat
analitis. Rubrik holistis, di pihak lain, adalah yang tidak memberikan
penilaian capaian kenerja untuk tiap kriteria. Penilaian capaian kinerja
diberikan secara menyeluruh untuk seluruh kriteria sekaligus (Nurgiyantoro, 2011:33-34).
Sejalan dengan beberapa langkah-langkah di atas, tahapan
yang harus dilakukan guru dalam mengimplementasikan penilaian otentik dalam
konteks pembelajaran pada kurikulum 2013 adalah : membuat kriteria yang akan
digunakan, menetukan tugas yang akan dikerjakan siswa, pembuatan kriteria, dan,
penyusunan rubrik penilaian. Melalui tahapan sederhana ini guru dapat
mengkreasi sendiri model penilaian otentik yang di rasa palng tepat dalam
mengukur kemampuan siswa selama dan setelah proses pembelajaran.
F.
Implementasi Penilaian Otentik Dalam Konteks Kurikulum 2013
Implementasi penilaian
otentik dalam konteks kurikulum 2013 telah secara tegas dinyatakan dalam
Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Berdasarkan
Permendikbud tersebut Standar Penilaian Pendidikan dipandang sebagai kriteria
mengenai mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta
didik. Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi
untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencangkup penilaian
otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian,
ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi,
ujian tingkat mutu kompetensi, ujian nasional dan ujian sekolah/madrasah.
Masing-masing jenis penilaian berikut di uraikan Permendikbud Nomor 66 Tahun
2013 sebagai berikut:
1.
Penilaian otentik merupakan penilaian
yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input),
proses, dan keluaran (output) pembelajaran.
2.
Penilaian diri merupakan penilaian yang
dilakukan sendiri oleh peserta didik secara reflektif untuk membandingkan
posisi relatifnya dengan kriteria yang telah ditetapkan.
3.
Penilaian berbasis portofolio merupakan
penilaian yang dilaksanakan untuk menilai keselurahan entitas proses belajar
peserta didik termasuk penugasan perseorangan dan/atau kelompok di dalam
dan/atau di luar kelas khususnya pada sikap/prilaku dan keterampilan.
4.
Ulangan merupakan proses yang dilakukan
untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam
proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar
peserta didik.
5.
Ulangan harian merupakan kegiatan yang
dilakukan secara periodik untuk menilai kompetensi peserta didik setelah
menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih.
6.
Ulangan tengah semester merupakan kegiatan
yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik
setelah melaksanakan 8-9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan tengah
semester meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan seluruh KD pada
period tersebut.
7.
Ulangan akhir semester merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi
peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator
yang mempersentasikan semua KD pada semester tersebut.
8.
Ujian Tingkat Kompetensi yang
selanjutnya disebut UTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh
satuan pendidikan untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UTK
meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepersentasikan Kompotensi Inti pada
tingkat kompetensi tersebut.
9.
Ujian Mutu Tingkat Kompetensi yang
selanjutnya disebut UMTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh
pemerintah untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UMTK
meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada
tingkat kompetensi tersebut.
10.
Ujian Nasional yang selanjutnya disebut
UN merupakan kegiatan pengukuran kompetensi tertentu yang dicapai peserta didik
dalam rangka menilai pencapain Standar Nasional Pendidikan, yang dilaksanakan
secara nasional.
11.
Ujian Nasional/Madrasah merupakan
kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi diluar kompetensi yang diujikan pada
UN, dilakukan oleh satuan pendidikan.
Berdasarkan perincian penilaian di atas, dapat
dikemukakan bahwa penilaian otentik dipandang sebagai penilaian yang lebih sempit
dari yang seharusnya. Hal ini terlihat dari dipisahkanannya penilaian diri dan
penilaian portofolio dari penilaian otentik. Pada konsep yang sebenarnya, kedua
ragam penilaian ini merupakan bagian dari penilaian otentik. Dan oleh karenanya
sebenarnya tidak perlu dipandang sebagai bagian terpisah dari konsep penilaian
otentik. Berdasarkan sudut pandang ini jelaslah bahwa penilaian yang digunakan
dalam kurikulum 2013 merupakan penilaian otentik.
Terhadap konsep penilaian harian, perlu juga rasanya dibahas.
Ulangan harian dianggap sebagai kegiatan
penilaian yang dilakukan secara periodikuntuk menilai kompetensi peserta
didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih. Berdasarkan
pengertiannya, konsep ulang harian sebenarnya tidaklah perlu muncul sebab
ulangan harian merupakan konsep formatif yang melekat pada penilaian otentik,
Dengan kata lain penilaian harian merupakan bagian dari penilaian keluaran atau
output. Dengan menerapkan konsep penilaian otentik dengan sendirinya setiap kompetensi
yang diajarkan akan diukur keluarannya sehingga konsep ulangan harian
sebenarnya tidak diperlukan lagi dalam konteks kurikulum 2013.
Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 lebih lanjut menjelaskan
bahwa penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidik dasar dan
menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Objektif, berarti penilaian berbasis
pada standar dan tidak dipengaruhi faktor subjektivitas penilai.
2.
Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik
dilakukan secara terencana, menyatu dengan kegiatan pembelajaran, dan
berkesinambungan.
3.
Ekonomis, berarti penilaian yang efesien
dan efektif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporannya.
4.
Transparan, berarti prosedur penilaian,
kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat di askes oleh semua
pihak.
5.
Akuntabel, berarti penilaian dapat
dipertanggung jawabkan kepada pihak internal sekolah maupun eksternal untuk
aspek teknik, prosedur, dan hasilnya.
6.
Edukatif, berarti mendidik dan
memotivasi peserta didik dan guru.
Berdasarkan prinsip-prinsip
penilaian di atas ada beberapa hal yang harus dibahas terutama dengan esensi
fungsi penilaian itu sendiri. Jika selama ini penilaian hanya di pandang
sebagai proses untuk mengukur keberhasilan pembelajaran siswa (hal ini termasuk
tercantum dalam Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013), ke depan esensi fungsi
penilaian haruslah diperluas. Dalam konteks kurikulum 2013 fungsi penilaian
seyogyanya dipanndang secara lebih moderen. Penilaian secara tradisional sering
difungsikan untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan siswa, momonitor
perkembangan belajar siswa, menetapkan nilai yang dicapai siswa, dan menentukan
efektivitas proses pembelajaran. Dalam konteks kurikulum 2013, fungsi penilaian
bukan hanya terletak pada keempat fungsi tradisional tersebut, melainkan lebih
meluas meliputi fungsi-fungsi sebagai berikut:
1. Peniain
berfungsi untuk menentukan persepsi masyarakat tentang keefektifan pendidikan.
2. Penilain
terhadap performa siswa harus semakin dipandang sebagai bagian proses evaluasi
guru.
3. Penilaian
hendaknya digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kulitas pembelajaran.
Berdasarkan
ketiga fungsi penilaian modern di atas, dapat dijelaskan bahwa penilaian dalam
konteks kurikulum 2013 harus mampu membentuk persepsi masyarakat bahwa penilaian yang digunakan
benar-benar mengukur kemampuan siswa. Selama ini tes dan pengetesan yang
digunakan banyak dikembangkan tanpa mempertimbangkan konteks sosial. Kondisi
ini membentuk citra negatif pada masyarakat yang akhirnya memandang pendidikan
tidak efektif dalam mengembangkan sumber daya manusia yang handal. Hal ini
terbukti dengan banyaknya tanggapan negatif pengguna lulusan yang menyatakan
lulusan sekolah tertentu yang terkenal baik kualitasnya sekalipun ternyata
tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan. Kondisi ini sering terjadi karena
gradasi penilaian dipermudah atau bahkan tidak sesuai dengan tantangan dunia
kerja yang sesungguhnya. Ke depan penilaian yang di kembangkan hendaknya
benar-benar otentik baik dalam pengukuran maupun konteksnya sehingga para
lulusan akan mampu berkiprah dalam kehidupan nyata bukan hanya mampu berkiprah
dalam kehidupan dunia sekolah, dalam proses pengolahan nilainya pun, guru
hendaknya lebih tegas dalam menentukan kelulusan dan ketidaklulusan siswa
sehingga setiap lulusan benar-benar adalah siswa yang kompeten.
Penilaian dalam konteks tradisional memang telah
digunakan untuk mengukur keefektifan proses pembelajaran. Namun dalam konteks
modern, penilaian hendaknya juga difungsikan sebagai alat dalam proses evaluasi
guru. Berkenaan dengan fungsi ini, anggapan yang selama ini muncul bahwa
pembelajaran yang tidak berhasil hanya semata-mata terjadi karena faktor
rendahnya mutu siswa, kurangnya media pembelajaran, dan tidak tepatnya strategi
pembelajaran yang digunakan harus di perluas dengan faktor lain yakni kualitas
guru itu sendiri. Dengan kata lain, jika setelah proses pembelajaran banyak
siswa yang tidak mencapai standar kompetensi yang ditetapkan, guru harus
merefleksi diri tentang kekurangannya, baik dalam penguasaan konten materi pembelajaran,
keterampilan mengajar, kreativitas dan gaya mengajar, maupun dalam mengelolah
proses pembelajaran. Melalui sikap kritis, reflektif dan evaluatif ini di
harapkan kedepan guru harus senantiasa mengembangkan diri sehingga kualitas
proses belajar mengajar akan akan semakin
meningkat dan lulusn yang kapabel akan tercipta.
Berkenaan dengan fungsi terakhir, penilaian dalam konteks
kurikulum 2013 hendaknya digunakan sebagai pemandu proses pembelajaran. Sejalan
dengan hal tersebut, proses pengembangan instrumen penilaian harus dilakukan
sebelum mengembangkan strategi pembelajaran. Secara implementasional, strategi
pembelajaran harus di susun dengan berdasar pada penilaian yang akan di gunakan
untuk mengukur capaian kompetensi siswa. Berdasarkan penilaian yang telah di
tetapkan barulah di susun seperangkat aktivitas belajar sehingga aktivitas
belajar ini akan mampu secara lagsung membentuk kompetensi yang diharapkan.
Selama ini penilaian lebih banyak dikembangkan setelah
pengembangan strategi pembelajaran. Kesalahan langkah ini minimalnya
menyebabkan dua masalah utama yakni penilaian dianggap terlalu mudah atau
penilaian dianggap terlalu sulit. Kasus penilaian dianggap terlalu mudah
biasanya terjadi jika pembelajaran dilakukan dengan aktivitas yang saintfik
tetapi pengukuran hanya dilakukan dengan menggunakan instrumen teks obyektif
yang hanya mengukur ingatan siswa. Dampaknya akan berhubungan dengan sikap dan motivasi siswa.
Yakni siswa akan memandang tidak perlu melakukan aktivitas otentik jika tes
yang diberikan terlalu mudah baginya, muara atas dan sikap motivasi yang rendah
ini adalah siswa yang tidak akan terdorong untuk aktif. Selama proses
pembelajaran dan bahkan memandang pembelajaran adalah proses yang membosankan,
lebih lanjut, siswa akan memiliki karakter yang kurang baik yakni tidak
memiliki semangat pantang menyerah (malas), kurang mau berfikir, kurang mau
bekerja sama, dan yang lainnya.
Kasus penilaian yang terlalu sukar sering terjadi ketika
pembelajaran dilaksanakan dengan strategi yang kurang baik sehingga
pembelajaran kurang bersentuhan lagsung dengan kompetensi yang akan diukur yang
hasilnya banyak siswa yang tidak memenuhi standar yang diharapkan. Kondisi ini
akan berujung pada ketidakobjektifan penilaian, keputusan siswa, dan berbagai kecurangan
seperti katrol nilai, manipulasi data hasil penilaian, dan yang lainya. Kondisi
lain yang lebih parah adalah munculnya sikap negatif guru terhadap siswa yang
salah satunya adalah guru senatiasa menggap siswa tidak kompeten, tidak
berbakat, dan memiliki kemampuan yang rendah.
Sejalan dengan kedua kondisi ini, seyogyanya penilaian
dan strategi pembelajaran memiliki tingkat relevansi yang tinggi. Penilain
harus memandu strategi pembelajaran dan strategi pembelajaran senantiasa
berorientasi pada penilaian. Sebagai penjelas konsep ini perlu kiranya
dicontohkan bagaimana penilaian memandu pembelajaran dan pembelajaran
senantiasa berorientasi pada penilaian. Dalam pembelajaran membaca pemahaman
misalnya, kompetensi yang harus dicapai siswa adalah membuatinti sari bacaan.
Berdasarkan tujuan tersebut, strategi pembelajaran yang dipilih haruslah berisi
seperangkat aktivitas yang secara lagsung membina kemampuan siswa membuat inti
sari bacaan. Aktivitas dimaksud misalnya menggali skemata siswa, menyusun tujuan
membaca, menemukan ide pokok bacaan, menyusun peta konsep isi bacaan, dan
mengembangkan inti sari bacaan. Keseluruhan aktivitas ini dikenal dengan
istilah strategi membaca skemata kritis. Berdasarkan contoh ini, diketahui
bahwa jenis penilaian yang di gunakan yakni penilaian kemampuan membuat inti
sari bacaan memandu aktivitas pembelajaran dan aktivitas pembelajaran
senantiasa berorentasi pada pembentukan kemampuan yang akan dinilai. Jika
pembelajaran hanya dilakukan secara tradisional misalnya membaca dan menjawab
pertanyaan, diyakni siswa akan gagal dalam membuat inti sari bacaan.
Hal ini yang dijelaskan dalam Permendikbud Nomor 66 Tahun
2013 adalah pendekatan penilaian. Pendekatan penilaian yang digunakan dalam
pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013 adalah penilaian acuan kriteria
(PAK). PAK marupakan penilaian pencapaian kompetensi yang di dasarkan pada
kriteria ketuntasan minimial (KKM). KKM merupakan kriteria ketuntasan belajar
minimal yang di tentukan oleh satuan pendidikan dengan memepertimbangkan
karakteristik Kompetensi Dasar yang akan dicapai, daya dukung, dan
karakteristik peserta didik. Bertemali dengan penggunaan PAK, instrumen
penilaian otentik yang akan banyak digunakan adalah rubrk penilaian (skoring
rubrik). Skoring rubrik yang digunakan hendaknya juga bersifat analisis bukan
holistis. Hal ini bertujuan agar penilaian yang dilakukan memiliki standar yang
jelas sehingga proses pengukurannya pun semakin mudah.
Penilain hasil belajar peserta didik dalam konteks
kurikulum 2013 mencangkup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi
relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan. Dalam
Permendikbud Nomor 6 Tahun 2013 dinyatakan bahwa cakupan penilaian merujuk pada
ruang lingkup materi, kompetensi, mata pelajaran/kompetensi muatan/kompetensi
program, dan proses. Sejalan dengan cakupan tersebut, teknik dan instrumen yang
digunakan untuk penilaian kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan
adalah sebagai berikut.
1.
Penilaian Kompetensi Sikap
Permendikbud
Nomor. 66 Tahun 2013 menjelaskan bahwa pendidik melakukan penilaian kompetensi
sikap melalui observasi penilaian diri, penilaian “teman sejawat” (peer
evaluation) oleh peserta didik, dan jurnal. Instrumen yang digunakan untuk
observasi, penilaian diri, dan penilaian antar peserta didik adalah daftar cek
atau skala penilaian (rating scale) yang di sertai rubrik, sedangkan pada
jurnal berupa catatan pendidik.
a. Observasi
merupakan teknik penilain yang dilakukan secara berkesinambungan dengan
menggunakan indera baik secara lagsung maupun tidak langsung dengan menggunakan
pedoman observasi yang berisi sejumlah indikator prilaku yang diamati.
b. Penilain
diri merupkan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk
mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian
kompetensi. Instrumen yang di gunakan berupa lembar penilaian diri.
c. Penilaian
antar peserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta
didik untuk saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi. Instrumen yang
digunakan berupa lembar penilaian antar peserta didik.
d. Jurnal
merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang berisi informasi
hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkaitan
dengan sikap dan perilaku.
Berdasarkan
teknik dan instrumen penilaian sikap diatas, ada beberapa catatan yang harus
dikemukakan. Pertama, bahwa penilaian sikap dengan menggunakan teknik observasi
dan instrumen pedoman observasi hendaknya tidak banyak dilakukan guru mengingat
kondisi kelas yang terdapat di sekolah indonesia tidaklah seluruhnya sesuai
dengan standar rombongan belajar yang ditetapkan. Pengukuran sikap dengan
observasi langsung oleh guru akan men Jadi biasa jika siswa dalam kelas lebih
dari 20 orang siswa. Hal inilah yang terjadi sekarang ini yakni bahwa penilaian
sikap hanya dilakukan guru dengan hanya berkeliling kelas dengan membawa alat
cek dan pada saat siswa tahu sedang dinilai mereka akan seolah-olah aktif
belajar. Pada kasus lain, banyak pula guru yang hanya mengisi, nilai besar
diberikan pada siswa yang paling dikenai, dan
berbagai kondisi kekurang akuratan lainnya. Kondisi ini bisa pula
terjadi pada insrtumen jurnal, sehingga penggunaan kedua instrument ini
benar-benar memerlukan guru yang memiliki kepedulian tinggi dalam menciptakan
pembelajran yang lebih baik.
Berkenaan
dengan penilaian diri dengan menggunakan instrumen lembar penilaian diri,
kondisi yang banyak terjadi adalah keterbatasan dana untuk membuat alat
evaluasi diri ini. Dana BOS memang telah ada namun peruntukan untuk hal-hal yang sifatnya
akademis. Diakui atau tidak, lebih sulit keluar dibanding untuk peruntukan lain.
inilah minimalnya yang sering dikeluhkan para guru muda kreatif dibeberapa
sekolah yang pernah penulis wawancarai. Bertemah dengan kondisi ini, guru harus
lebih kreatif menciptakan instrument yang lebih murah dibanding dengan hanya
mengeluh kekurangan dana, mengingat instrumen ini dalam pandangan penulis lebih
sahih, lebih akurat, dan lebih handal dibanding dengan penilaian melalui
observasi langsung oleh guru.
Jenis
penilaian sikap instrumen lembar penilaian antarpeserta didik juga dianggap
lebih baik dibanding dengan penilaian observasi langsung dan jurnal yang dibuat
guru. Melalui instrumen ini, sikap siswa akan lebih terukur dengan baik. Namun
demikian, perlu mendapat catatan bahwa siswa harus pula dibekali tentang
pentingnya kejujuran memberikan penilaian agar penilaian yang mereka berikan
mampu digunakan untuk mengembangkan sikap positif teman mereka. Penyadaran ini
diperlukan juga terutama untuk menghindari sikap kurang baik dalam menilai
misalnya terjadi kerja sama siswa untuk memberikan penilaian baik kepada teman
atau dalam istilah popular terjadi kondisi kong kali kong di antara para siswa.
2.
Penilaian
Kompetisi Pengetahuan
Permendikbud
No.66 tahun 2013 menjelaskan bahwa pendidik menilai kompetensi pengetahuan
siswa melalui tes tulis, tes lisan, dan penugasan. Instrument tes tulis yang
bisa digunakan guru berupa soal pilihan ganda, isian, jawaban singkat, benar
salah, menjodohkan, dan uraian yang dilengkapi pedoman penskoran, instrument
tes lisan berupa daftar pertanyaan, dan instrumen penugasan berupa perkerjaan
rumah dan/atau proyek yang dikerjakan secara individu atau kelompok sesuai
dengan karakteristik tugas.
Jenis instrument yang tertuang dalam permendikbud tersebut haruslah dikritisi
secara mendalam dengan tujuan penilaian yang digunakan guru nantinya merupakan
penilaian yang benar-benar berorientasi bagi pengembangan kompetisi siswa dalam
menjawab tuntutan abad ke-2. Berkenaan dengan tes tulis ragam penilaian yang
hendaknya banyak digunakan dalam pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013
adalah tes uraian. Tes subyektif seperti pilihan ganda, isian, jawaban singkat,
benar-salah, dan menjodohkan hendaknya dibatasi penggunanya. Hal ini sejalan
dengan sejumlah asumsi bahwa penilaian uraian lebih lebih menuntut kemampuan
siswa untuk berpikir secara kritis dan kreatif. Penilaian dengan tes uraian
juga diyakini lebih baik bagi pengembangan kreativitas siswa dibanding dengan
tes subyektif yang lebih cenderung mengukur kemampuan ingatan para siswa atau
hanya menuntut kemampuan berpikir tingkat rendah.
Jika dikaitkan dengan rendahnya hasil penilaian kemampuan
literasi siswa Indonesia baik dalam membanca, sains, maupun matematika yang dilakukan oleh
berbagai lembaga survei internasional dapat dikemukakan bahwa rendahnya
kemampuan literasi siswa Indonesia ini salah satunya adalah bahwa siswa
Indonesia kurang terbiasa mendapatkan penilaian yang menitikberatkan pada aspek
kemampuan bernalar pemecahan masalah. Berargumentasi dan berkomunikasi .
Penilaian yang selama ini banyak digunakan di dunia persekolahan Indonesia
adalah soal-soal yang mengukur kemampuan teknis baku yang berkaitan dengan
ingatan dan pemahaman semata. Berdasarkan kenyataan ini sekali lagi penggunaan
penilaian ragam penilaian ini diyakini lebih mampu mengembangkan kemampuan
bernalar, pemecahan masalah, berargumentasi dan berkomunikasi bagi para siswa.
Melalui penggunaan ragam penilaian yang
demikian, kemampuan literasi siswa Indonesia ke depan diyakini akan lebih baik.
Dalam kaitanya dengan tes lisan, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan. Pertama tes lisan yang digunakan untuk menilai hendaknya
bukan hanya tes lisan yang ditunjukan untuk mendiagnosis kemampuan awal siswa
melainkan tes lisan yang benar-benar mengukur kemampuan siswa berkomunikasi dan
bernalar. Kedua, tes lisan yang digunakan hendaknya tidak semata-mata
ditunjukan pada satu atau dua orang siswa melainkan harus mampu ditunjukan
untuk seluruh siswa. Berdasarkan kondisi tersebut, penggunaan tes lisan akan
berkonsekuensi pada keperluan waktu pelaksaan tes yang banyak dibanding
denga tes tulis. Ketiga, tes lisan
hendaknya tidak ditafsirkan sebagai tes membacakan soal agar guru tidak perlu
membuat banyak instrument dan siswa menjawab pertanyaan pada buku tulis yang
dimilikinya, melainkan tes yang benar-benar menuntut siswa menjawab secara
lisan semua persoalan yang diajukan guru.
Berkaitan dengan tes penugasan khususnya penugasan berupa
perkerjaan rumah perlu disadari bahwa pemberian tugas perkerjaan rumah harus
dilakukan atas beberapa prinsip penting sebagai berikut :
a.
Materi yang ditugaskan dalam PR adalah materi yang benar-benar telah dikuasai
oleh siswa, bukan materi yang tidak selesai dikerja siswa di dalam kelas yang
belum diketahui mampu atau tidaknya siswa menguasi materi tersebut.
b.
Jenis tugas PR hendaknya mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa sehingga
tidak semua siswa mendapatkan jenis tugas yang sama dengan tingkat kesulitan
yang sama. Ingat PR berfungsi sebagai pengayaan bukan sebagai sarana
pembelajaran.
c.
Tugas dalam PR hendaknya tidak banyak menuntut keterlibatan orang tua untuk
mengerjakannya. Ingat tidak semua orang tua memiliki waktu, kemampuan, dan
kemauan untuk membantu siswanya mnegerjakan PR. Lebih jauh, hal yang harus
dipertimbangkan adalah bahwa kondisi masyarakat Indonesia, banyak siswa yang
kos, orang tuanya berkerja diluar daerah/negeri, dan latar belakang pendidikan
orang tua yang lebih rendah dari pada anaknya. Dengan demikian, tugas PR yang
menuntut kolaborasi dengan orang tua hendaknya hanya diberikan jika telah
diketahui benar kondisi orang tua siswa. Menilik kondisi ini, di Negara maju
sering dilakukan pertemuan guru dan orang tua di malam hari guru membangun
kolaborasi guru dan orang tua dalam mengembangkan kemampuan anak. Kebiasaan
baik ini di Indonesia hampir tidak pernah dilaksanakan.
d.
PR hendaknya benar-benar dibahas dan dinilai bukan hanya ditandatangani pasca
dikerjakan oleh siswa. Melaui pengelolahan yang demikian PR akan mampu memenuhi
fungsinya sebagai sarana pengayaan dan pendeteksan penguasaan siswa atas materi
yang di-PR kan.
e.
Hasil penilaian tugas pr hendaknya tidak dijadikan satu-satunya alat ukur
kompetensi siswa karena proses pengerjaanya tidak diketahui secara pasti apakah
benar-benar hasil kerja anak atau bukan.
Catatan lain yang perlu dikemukan dalam kaitanya dengan
penilaian tugas adalah banyaknya kesalahan implementasi penilaian tugas yang
selama ini terjadi di sekolah. kesalahan tersebut salah satunya adalah
penggunaan buku lembar kerja siswa (LKS) yang dianggap sebagai alat evaluasi
atau sebagai tugas pembelajaran. Kesalahan ini terjadi karena LKS yang banyak
dibuat di Indonesia hanya berisi ringkasan materi dan soal-soal latihan. Bentuk
LKS semacam ini tentu saja sangat tidak sesuai dengan LKS yang seharusnya yakni
yang berisi serangkaian pedoman kerja yang harus dilakukan siswa dalam
memperoleh pengetahuan. Akibatnya, sampai saat ini LKS sering hanya berfungsi
sebagai tugas tugas latihan bagi para siswa . yang lebih parah adalah bahwa LKS
tidak dinilai hanya ditandatangani guru sehingga siswa tidak mengetahui
kualitas hasil kerjanya.
Berdasarkan beberapa catatan diatas, penggunaan ragam
penilaian untuk mengukur pengetahuan hendaknya benar-benar diorientasikan guna
membangun kompetensi siswa penilaian dengan demikian bukan hanya digunakan
sebagai alat ukur melainkan sebagai alat belajar. Lebih lanjut, penilaian
pengetahuan harus dikemas seotentik mungkin agar peran pentingnya dalam
mengembangkan kualitas hasil dan proses pembelajaran dapat dirasakan.
3.
Penilaian Kompetensi Keterampilan
Berkaitan dengan
penilaian keterampilan, permendikbud No.66 tahun 2013 menjelaskan bahwa
pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu
penilaian yang menuntut peserta didik mendemontrasikan suatu kompetensi tentu
dengan menggunkan tes praktik proyek dan penilaian portopolio instrumen yang
digunakan berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang dilengkapi rubric lebih lanjut tentang tes ini
dijelaskan bahwa (1) tes praktik adalah penilaian yang menuntut respons berupa
keterampilan melakukan suatu aktivitas atau perilaku sesuai dengan tuntutan
kompetensi (2)proyek adalah tugas-tugas belajar (learning tasks) yang meliputi kegiatan perancangan, pelaksanaan,
dan pelaporan secara tertulis maupun lisan dalam waktu tertentu; dan (3)
penilaian portopolio adalah penilaian yang dilakukan dengan cara menilai
kumpulan seluruh karya peserta didik dalam bidang tertentu yang bersifat
reflektif-intergratif untuk mengetahui minat, perkembangan prestasi, dan/atau
kreativitas peserta didik dalam kurun waktu tertentu. Karya tersebut dapat
berbentuk tindakan nyata yang mencerminkan kepedulian peserta didik terhadap
lingkunganya.
Berkenaan dengan tiga ragam penilaian keterampilan diatas
perlu ditambahkan penilaian keterampilan dapat pula berupa penilaian proses
pembelajaran. Dengan demikian, penilaian proses pembelajaran bukanlah penilaian
sikap atau hanya sekedar penilaian yang mengukur keaktifan, sungguh-sungguhan,
kerja sama, bertanya , menjawab, dan indikator lainnya yang tidak jelas
descriptor dan kriteria pengukurannya. Penilaian proses pembelajaran adalah
penilaian yang dilakukan terhadap
capaian tugas belajar yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran yang
ditujukan dengan hasil kreativitas belajar. Berdasarkan pengertian ini,
penilaian proses dikembangkan berdasarkan aktivitas belajar yang dilakukan
siswa yang dapat dibuktikan keberadaannya melalui bukti-bukti capaian aktivitas
yang jelas.
Penilaian proses merupakan salah satu penilaian otentik
penting yang bersifat formatif bagi siswa. Melalui penilaian proses ini akan
tergambar capaian belajar atau performa bagi siswa pada setiap tahapan
pembelajaran yang dilaluinya. Penilaian proses dikembangkan sejalan dengan
tujuan performasi pembelajaran yang secara detail menyatakan
keterampilan-keterampilan apa yang hendaknya dicapai siswa dalam rangka
mencapai kompetensi utama yang dipersyaratkan. Dengan demikian, penilaian
proses menempati posisi yang sangat penting dalam desain system pembelajaran
dalam konteks kurikulum 2013.
Guna lebih memberikan gambaran tentang tes proses,
perhatikan uraian berikut. Dimisalkan seorang guru akan melaksanakan
pembelajaran menulis argumentasi. Guna mencapai tujuan tersebut pembelajaran
harus dikembangkan melalui beberapa aktivitas, misalnya (1) menemukan ide dan
menuangkannya dalam bentuk peta konsep,
(2)membuat kerangka karangan,(3)menulis draf, (4)menyunting
draf,(5)memublikasikan karangan. Setiap aktivitas belajar ini harus diukur
ketercapaiannya. Sejalan dengan hal tersebut perlu dibuat penilaian proses
dalam bentuk scoring rubrik untuk mengukur capaian belajar pada setiap tahapan
belajar yang dialami siswa. Nilai akhir penilaian proses ada jumlah skor yang
diperoleh siswa dari seluruh tahapan belajar yang telah dicapai siswa.
Ragam penilaian lain yang tampaknya belum muncul dalam
permendikbud nomor 66 tahun 2013 adalah penilaian produk. Walaupun portopolio
bisa dikategorikan penilaian buruk, namun asas penilaian produk jauh berbeda
dengan penilaian portopolio. Demikian pula penilaian proyek walaupun salah satu
aspek yang dinilainya adalah produk karena penilaian proyek bersifat menyeluruh
terhadap setiap tahapan proyek sedangkan penilaian produk lebih berpusat pada
kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan. Penilaian produk meliputi
penilaian kemampuan peserta didik membuat produk-produk teknologi dan seni,
seperti makanan , pakaian , hasil karya seni (patung, lukisan, gambar).
Barang-barang terbuat dari kayu, keramik, plastik, logam. Karna sastra dan
berbagai produk lainnya. Dalam menilai produk, guru hendaknya menggunakan cara
analitis, yaitu berdasarkan aspek-aspek produk, biasanya dilakukan terhadap
semua kriteria kualitas produk.
Dalam mengembangkan berbagai instrument penilaian diatas,
permendikbud no.66 tahun 2013 menyatakan bahwa instrument penilaian harus memenuhi
persyaratan (1) substansi yang merepresentasikan kompetensi yang dinilai (2)
kontruksi yang memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrument yang
digunakan; dan (3) penggunaan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif
sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik bertemah dengan konsep ini,
pengembangan penilaian otentik dalam pembelajaran harus dilakukan secara cermat
sejalan dengan tahapan penyusunan penilaian otentik sebagai telah dibahas di
muka. Secara lengkap bagaimana mengembangkan penilaian otentik dalam konteks
kurikulum 2013 berserta contoh implementasinya akan dibahas dalam buku
tersendiri.
Bagian akhir yang perlu dijelaskan dalam bab ini adalah
ihwal pelaksaan dan pelaporan penilian oleh pendidik dalam konteks pembelajaran
kurikulum 2013. Berdasarkan permendikbud No.66 tahun 2013 dapat dikemukakan
bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik yang dilakukan secara
berkesinambungan bertujuan untuk memamtau proses dan kemajuan belajar peserta
didik serta untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran penilaian belajar oleh
pendidik tersebut harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Proses
penilaian diawali dengan mengkaji silabus sebagai acuan dalam membuat rancangan
dan kriteria penilaian pada awal semester setelah menetapkan kriteria
penilaian, pendidik denagn indikator dan mengembangkan insrumen serta pedoman
perskoran sesuai dengan teknik penilaian
yang dipilih.
2.
Pelaksanaan penilaian dalam proses pembelajaran diawali dengan penelusuran dan
diahiri dengan tes dan/atau nontes. Penelusuran dilakukan dengan menggunakan
teknik bertanya untuk mengekplorasi pengalaman belajar sesuai dengan kondisi
dan tingkat kemampuan peserta didik.
3.
Penilaian pada pembelajaran tematik-terpacu dilakukan dengan mengacu pada
indikator dan kompetensi dasar setiap mata pelajaran yang diintegrasikan dalam
tema tersebut.
4.
Hasil penilaian oleh pendidik dianalisis
lebih lanjut untuk mengetahui kemajuan dan kesulitan belajar.
Dikembalikan kepada peserta didik disertai balikan (feedback) berupa komentar
yang mendidik penguatan yang dilaporkan kepada pihak yang terkait dan
dimanfaatkan untuk perbaikan pembelajaran.
5. laporan hasil
penilaian oleh pendidik berbentuk:
a.
nilai dan/atau deskripsi pencapain kompetensi, untuk hasil penilaian
kompentensi pengetahuan dan keterampilan termasuk penilaian hasil pembelajaran
termatik-terpadu
b.
deskirpsi sikap, untuk hasil penilaian kompetensi sikap spiritual dan sikap
sosial.
6.
laporan hasil penilaian oleh pendidik disampaikan kepada kepala sekolah/
madrasah dan pihak lain yang terkait (missal : wali kelas, guru bimbingan dan
konseling, dan orang tua/wali) pada periode yang ditentukan
7.
penilaian kompetensi sikap spiritual dan sosial dilakukan oleh semua pendidik
selama satu semester, hasilnya diakumulasi dan dinyatakan dalam bentuk deskripsi kompentensi oleh wali
kelas/guru kelas.
Berdasarkan permendikbud No.66 tahun 2013 selain terdapat
penilaian yang dilakukan guru, penilaian juga dilakukan oleh satuan pendidikan
(Sekolah) dan pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan
dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan peserta didik yang
meliputi kegiatan sebagai berikut :
1.
menentukan kriteria minimal pencapaian tingkat kompetensi dengan mengacu pada
indikator kompetensi dasar tiap mata pelajaran.
2. mengoordinasikan ulangan harian,
ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, h/mulangan kenaikan kelas,
ujian tingkat kompensi dan ujian akhir sekolah/madrasah.
3.
menyelenggarakan ujian sekolah/madrasah dan menentukan kelulusan peserta didik
dari ujian sekolah/madrasah sesuai dengan POS Ujian Sekolah/madrasah.
4. menentukan kriteria
kenaikan kelas.
5.
melaporkan hasil pencapaian kompetensi dan/atau tingkat kompensi kepada orang
tuaa/wali peserta didik dalam bentuk buku rapor.
6.
melaporkan pencapaian hasil belajar tingkat satuan pendidikan kepada dinas
pendidikan kabupaten/kota dan instansi lain yang terkait.
7.
melaporkan hasil ujian tingkat kompensi kepada orang tua/wali peserta didik dan
dinas pendidikan.
8.
menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan melalui rapat dewan
pendidik sesuai dengan kriteria :
a.menyelesaikan seluruh program pembelajaran
b.mencapai
tingkat kompentesi yang dipersyaratkan, dengan ketentuan kompetensi sikap
(spiritual dan sosial) termasuk kategori baik dan kompetensi pengetahuan dan
keterampilan minimal sama dengan KKM yang telah ditetapkan.
c.
lulus ujian akhir sekolah/madrasah; dan
d.
lulus Ujian Nasional.
9.
menertibkan surat keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) setiap peserta didik
bagi satuan pendidikan penyelenggaraan Ujijan Nasional.
10.
menertibkan ijazah setiap peserta didik dan lulus dari satuan pendidikan bagi
satuan pendidikan yang telah terakreditasi.
Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah dilakukan melalui
Ujian Nasional dan ujian mutu Tingkat Komptensi, dengan memperhatikan hal-hal
berikut.
1. Ujian Nasional
a.
penilaian hasil belajar dalam bentuk UN didukung oleh suatu system yang
menjamin mutu dan kerahasiaan soal serta pelaksaaan yang aman, jujur dan adil.
b.
Hasil UN digunakan untuk :
1) salah satu syarat kelulusan peserta didik
dari satuan pendidikan
2)
salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya
3)pemetaan mutu; dan
4) pembinaan dan pemberian bantuan untuk
peningkatan mutu .
c. Dalam rangka standarisasi UN
diperlukan acuan berupa kisi-kisi bersifat nasional yang dikembangkan oleh
pemerintah, sedangkan soalnya disusun oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah
daerah dengan komposisi tertentu yang ditentukan oleh pemerintah
d.
sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan,
kriteria kelulusan UN untuk pemetaan mutu program
e.
dalam rangka penggunaan hasil UN untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan
pendidikan, pemerintah menganalisis dan membuat peta daya serap UN dan
menyampaikan hasilnya kepada pihak yang berkepentingan.
2. Ujian Mutu Tingkat
Kompetensi
a.
ujian mutu tingkat kompetensi dilakukan oleh pemerintah pada seluruh satuan
pendidkan yang bertujuan untuk pemetaan dan penjaminan mutu pendidikan di suatu
satuan pendidikan
b.
ujian mutu tingkat kompetensi dilakukan sebelum peserta didik menyelesaikan
pendidikan pada jenjang tertentu, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk
perbaikan proses pembelajaran.
c.
instrument, pelaksaan, dan pelaporan ujian mutu tingkat kompetensi mampu
memberikan hasil yang komprehensif sebagaimana hasil studi lain dalam skala
internasional.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Pengembangan
desain pembelajaran akan dimulai dari tahap analisis kebutuhan, anlisis pembelajaran,
peentuan tujuan pembelajaran, pengemangan instrumen penilaian, pengembangan
strategi pembelajaran, pengembangan bahan ajar, dan perancanagan pelaksanaan
evaluasi model pembelajaran.
Desain
sistem pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013 harus diawali dengan kegiatan
studi pendahuluan untuk merumuskan tujuan pembelajaran. Langkah kedua yang
harus dilakukan dalam adalah melakukan analisis pembelajaran. Langkah ketiga
yang harus dilakukan adalah menganalisis siswa dan konteks pembelajaran. Langkah
terakhir yaitu merumuskan tujuan performasi. Dalam merumuskan tujuan peformasi
ini, diperlukan kata-kata kerja operasional sehingga ketercapaian tujuan umum
dapat tergambarkan.
Penilaian
autentik merupakan sebuah konsep evaluasi untuk menilai kemampuan hasil belajar
anak secara holistic. Penilaian ini diperoleh melalui pengumpulan
informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang
dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan,
membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah
benar-benar dikuasai dan dicapai.
Penilaian ini dilakukan
melalui 4 jenis penilaian yaitu Penilaian Kerja Penilaian porto folio, penilain
proyek dan penilaian tertulis. Hasil dari kombinasi seluruh penilaian ini
akan lebih mencerminkan penilaian yang lebih holistic untuk melihat kemampuan
anak secara objektif.
Asesmen autentik ini memiliki
relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai dengan
tuntutan Kurikulum 2013. Karena, asesmen semacam ini mampu menggambarkan
peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi,
menalar, mencoba, membangun jejaring, dan lain-lain.
B. Saran
Sebagai orang yang berkecipung
dalam duni pendidikan sudah seharusnya kita memiliki kompetensi untuk
mengembangkan desain penilaian otentik dalam kurikulum 2013. Desain sistem
pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013 perlu terus dikaji agar tercipta
suatu pemahaman yang nantinya membantu kita dalam mewujudkan pendidikan
Indonesia yang bermutu. Guru dan para pendidik lainnya memegang peranan penting
terhadap pengembangan kurikulum termasuk dalam mendesain pembelajarannya. Kita
harus lebih berani dalam bertindak dan kreatif dalam berpikiran.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin, Yunus. 2013. Desain Sistem
Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung: PT Refika
aditama.
No comments:
Post a Comment