Sunday, March 31, 2019

Makalah Desain Penilaian Otentik Dalam Konteks Kurikulum 2013

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara besar yang sedang berkembang dalam berbagai bidang. Pendidikan menjadi salah satu bidang yang terus menerus dikembangkan. Tanpa adanya usaha dalam bidang pendidikan, kemajuan bagi Indonesia niscaya menjadi hal yang sulit, karenanya kini tidak boleh ada lagi warga negara Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Pendidikan di Indonesia harus bisa dinikmati oleh semua orang.
Pendidikan dalam sudut pandang yang luas mengartikan bahwa pendidikan merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan. Dari mulai lahir sampai dengan berakhirnya waktu,  sebagai manusia kita akan terus menerus memperoleh pendidikan. Entah itu pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan yang didapat dari berbagai pengalaman kehidupan. Peran pendidikan dalam kehidupan seseorang sangatlah penting.Dimana pendidikan dapat mengembangkan akhlak, sikap, pengetahuan, dan membentuk pola pikir seseorang. Semua hal tersebut kini diejawantahkan dalam kurikulum baru yang disebut dengan kurikulum 2013.

            Kurikulum 2013 disajikan agar pendidikan selaras dengan perkembangan zaman. imana kemajuan IPTEKS (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) harus diimbangi dengan IMTAQ (Iman dan Taqwa). Pada jenjang pendidikan dasar kurikulum 2013 menekankan kepada aspek afektif dimana iman dan taqwa dikembangkan. Namun dibalik semua kebaikan yang ada dalam kurikulum 2013, masih banyak pelaksana dan pengembang kurikulum yang bingung dengan desain sistem pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013. Kajian lebih lanjut dari para ahli kurikulum dan pendidikan memang sangat diperlukan agar kurikulum 2013 dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu penulis akan membahas desain sistem pembelajaran dalm konteks kurikulum 2013 dalam makalah ini yang sebelumnya telah dikaji dari literatur terkait dengan kurikulum 2013.


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Dasar Penilaian Pembelajaran?
2. Bagaimana Menata Ulang Ragam Penilaian Pembelajaran?
3. Bagaiman Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013?
4. Apa Keutamaan Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013?
5. Bagaimana Mendesain Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013?
6. Bagaimana Implementasi Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Bagaimana Konsep Dasar Penilaian Pembelajaran.
2. Untuk mengetahui bagaimana Menata Ulang Ragam Penilaian Pembelajaran.
3. Untuk mengetahui bagaimana Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013.
4. Untuk mengetahui apa Keutamaan Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013.
5. Untuk mengetahui bagaimana Mendesain Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013.
6.Untuk mengetahui bagaimana Implementasi Penilaian Otentik dalam Konteks Kurikulum 2013.









BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Penilaian Pembelajaran
Dalam dunia pendidikan terdapat beberapa istilah yang bertema dengan penilaian yaitu evaluasi, penilaian, tes, dan pengukuran. Keempat istilah ini terkadang digunakan mengacu pada hal sama. Namun demikian, pada prinsipnya keempat istilah sebenarnya memiliki perbedaan. Guna membedakan keempat istilah ini berikut diuraikan konsep pengukuran, tes, penilaian dan evaluasi.
Berkenaan dengan perbedaan antara pengukuran dan tes, Nikto (1996); Ebel dan Friesbie (1991) menyatakan bahwa pengukuran merupakan sebuah prosedur penentuan dan penetapan skor untuk menentukan spesifikasi atribut atau karakteristik siswa. Skor hasil pengukuran mencerminkan tingkatan yang dimiliki siswa. Di sisi lain, tes didefinisikan sebagai instrumen atau prosedur sistematis untuk mengobservasi dan mendeskripsikan suatu atau lebih karakter siswa menggunakan skala numerik ataupun skema klasifikasi. Senada dengan pendapat kedua ahli diatas, Miller et al. (2009) menyatakan bahwa pengukuran dipandang sebagai proses menetapkan nilai hasil tes atau jenis penilaian lainnya yang memiliki aturan-aturan khusus. Oleh sebab itu, pengukuran biasanya menjawab pertanyaan “seberapa banyak?” Tes merupakan instrumen untuk mengukur sampel perilaku mulai melalui pengajuan seperangkat pertanyaan secara seragam. Sebagai salah satu alat penilaian, tes biasanya menjawab pertanyaan “seberapa baik performa seseorang siswa dibandingkan dengan siswa lain atau dibandingkan dengan performa tugas yang ditetapkan?”
Lebih kompleks dari istilah pengukuran dan tes, penilaian (assessment) adalah istilah umum yang mencakup semua metode yang bisa digunakan untuk menilai untuk kerja individu atau kelompok peserta didik. Proses penilaian mencakup pengumpulan bukti menunjukkan pencapaian belajar peserta didik. Terhadap definisi penilaian Angelo dan Croos (1993) menyatakan bahwa penilaian merupakan sebuah proses yang didesain untuk membantu guru mengemukakan apa yang telah dipelajari siswa di dalam kelas dan bagaimana tingkat keberhasilan mereka mempelajarinya. Penilaian mencakup semua proses pembelajaran. Oleh karena itu, kegiatan penilaian tidak terbatas pada karakteristik saja, tetapi juga mencakup karakteristik metode mengajar, kurikulum, fasilitas dan administrasi sekolah. Instrumen penilaian untuk peserta didik dapat berupa metode dan/atau prosedur formal atau informal untuk menghasilkan informasi tentang peserta didik. Instrumen penilaian dapat berupa tes tertulis, tes lisan, lembar pengamatan, pedoman wawancara, tugas rumah dan sebagainya. Penilaian juga diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran atau kegiatan untuk memperoleh informasi tentang pencapaian kemajuan belajar peserta didik.
Popham (2011a) menyatakan bahwa penilaian merupakan usaha formal yang dilakukan untuk menjelaskan status siswa dalam variabel penting pendidikan. Variabel penting pendidikan di sini meliputi ranah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Tes dan pengukuran di sisi lain dipandang sebagai alat untuk melakukan penilaian. Senada dengan Popham, Miller et al. (2009) menyatakan bahwa penilaian sebagai istilah umum yang berisi seluruh prosedur untuk mendapatkan informasi tentang status belajar siswa dan membuat keputusan berdasarkan pengembangan belajar siswa. Tes merupakan salah satu jenis penilaian yang secara khusus berisi seperangkat soal yang diberikan selama periode tertentu untuk membandingkan kondisi seluruh siswa.
Dalam kaitannya dengan pola pengambilan keputusan dilakukan guru penilaian dipandang sebagai proses kumpulan informasi tentang siswa yang di dapat digunakan untuk membuat keputusan bagi guru dalam rangka melaksanakan proses pembelajaran. Karena penilaian sangat berhubungan dengan pengambilan keputusan dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, penilaian harus secara serius dilakukan guru dengan mempertimbangkan etika penilaian, proses persiapan yang matang dan mempertimbangkan standarisasi tes tersebut (Anderson, 2003). Briemali dengan pendapat ini, Nitko (1996) menyatakan bahwa penilaian merupakan sebuah proses untuk mengumpulkan informasi yang akan digunakan untuk membuat keputusan tentang siswa, kurikulum, program pembelajaran dan kebijakan pendidikan secara umum.
Evaluasi (evaluation) adalah penilaian yang sistematik tentang manfaat atau kegunaan suatu objek (Mehrens dan Lehmann,  1961). Dalam melakukan evaluasi terdapat judgement untuk menentukan nilai suatu program yang sedikit banyak mengandung unsur subjektif. Evaluasi memerlukan data hasil pengukuran informasi hasil penilaian yang memiliki banyak dimensi, seperti kemampuan, kreativitas, sikap, minat, keterampilan dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam kegiatan evaluas,i alat ukur yang digunakan juga bervariasi bergantung pada jenis data yang ingin diperoleh.
Burden dan Byrd (1999: 333) mengemukakan bahwa “evaluation is a process in which the teacher uses information drived from many sources to arrive at a value judgement. Evaluation may be based on measurement data, but also might be based on other types of data such as questionnaires, direct observation, written or oral perfomance ratings, or interviews”.
Richard dan Rodgers (2001: 158) mengungkapkan bahwa evaluation refers to procedures for gathering data on thr dynamics, effectiveness, acceptability and efficiency of language program for the purporses of decision making. Basically, evaluation addresses whether the goals and objecyives of language program are being attained, that is, whether the program is effetive in absolute term.
Gronlud (1993) menyatakan bahwa evaluasi adalah suatu proses sistematik untuk mengukur tugas belajar siswa secara representatif. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa evaluasi dalam bidang pembelajaran memiliki berbagai fungsi yakni untuk mengukur hasil belajar, mengetahui kelemahan pembelajaran, menginformasikan keefektifan metode pembelajaran dan bahan ajar yang digunakan, memberikan suku Bali bagi siswa dan memperbaiki proses pembelajaran. Senada dengan Gronlund, Gullo (2005) mendefinisikan evaluasi sebagai sebuah proses membuat keputusan tentang prestasi, nilai, keberhasilan proyek, kualitas bahan atau keunggulan teknik tertentu. Evaluasi juga mencakup teknik penelitian untuk menguji dan menarik kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh. Bukti dapat mencakup hasil pengamatan sistematis atas objek yang diamati. kedudukan penilaian proses evaluasi pendidikan adalah sebagai prosedur khusus yang digunakan untuk membuat keputusan tentang pembelajaran.
Sebagai akhir bagaikan ini perlu kiranya ditegaskan bahwa keempat istilah yakni pengukuran, penilaian, tes dan evaluasi merupakan hal yang berbeda.
Pengukuran, penilaian, dan evaluasi bersifat bertahap (hieraksis), maksudnya kegiatan dilakukan secara berurutan, dimulai dengan pengukuran, kemudian penilaian, dan yang terakhir evaluasi. Tes sendiri hanya merupakan alat yang digunakan untuk melakukan kegiatan penilaian. Secara lebih terperinci dapat dinyatakan bahwa evaluasi merupakan penilaian yang dilakukan secara luas pada seluuh aspek pendidikan baik pembelajaran, program, maupun kelembagaan. Penilaian merupakan bagian dari kegiatan evaluasi yang terfokus pada dimensi pembelajaran yang di dalamnya terkandung juga istilah tes dan pengukuran. Tes merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk melakukan penilaian. Pengukuran di pihak lain merupakan prosedur penerapan skor atas gapaian kinerja yang di peroleh siswa.
B. Menata Ulang Ragam Penilaian Pembelajaran
1. penilaian formatif dan penilaian sumatif
Dalam pelaksanaan penilaian dikenal dua istilah umum penilaian yakni penilaian formotif dan sumatif. Terhadap kedua jenis istilah ini pun saat ini masih diartikan keliru. Penilaian formatif dipandang sebagaipenilaian yang dilakukan setelah siswa mencapai satu pokok bahasan atau keterampilan tertentu, penilaian ini biasanya dilaksanakan dalam kurun waktu mingguan. Penilaian sumatif dipandang sebagai penilaian yang dilakukan di akhir beberapa pokok bahasan atau akhir semester. pemahaman atas kedua ini hendaknya diluruskan sesuai dengan konsep yang sebelumnya.
Penilaian formatif merupakan penilaian yang di lakukan pada setiap tahapan pembelajaran berbasis pencapaian bukti aktivitas belajar siswa dalam rangka mencapai suatu keterampilan tertentu. Dengan demikian, penilaian formatif sebenarnya merujuk pada penilaianproses bukan semata – mata penilaian akhir hasil belajar. Marzano (2006: 9) menyatakan bahwa penilaian kelas yang sesungguhnya adalah penilaian formatif yang dilakukan secara rutin pada setiap proses pembelajaran. Lebih lanjut, Tiemey, et,al (1991:35) menyatakan bahwa penilaian yang demikian akan berfungsi untuk memberikan gambaran tentang perkembangan belajar siswa secara jelas dalam mencapai tujuan tertentu serta mengetahui hal apa yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja belajar siswa guna mencapai hasil akhir yang optimal. Berdasarkan pandangan ini jelaslah bahwa penilaian formatif bukan penilaian yang di lakukan pada akhir program melainkan dalam proses pembelajaran itu sendiri.
Propham (2011b: 6) menyatakan secara jelas bahwa penilaian formatif merupakan prosedur terencana yang digunakan untuk menggambarkan status siswa secara jelas dalam proses pembelajaran yang akan digunakan guru untuk meningkatkan taktik belajarnya, lebih lanjut popham (2011b: 6) menyatakan bahwa formatif sebenarya bukan semata – mata tes melainkan proses itu sendiri yakni proses yang direncanakan secara cermat untuk menentukan sampai dimana siswa belajar. Penilaian formatif bukanlah kumpulan tes sementara yang diadministrasikan secara periodik untuk siswa. Penilaian formatif sesungguhnya adalah gambaran kemajuan siswa belajar dalam meguasai satu kompetensi tertentu.

Bertemali dengan pengertian diatas, penilaian formatif haruslah dilaksanakan secara cermat oleh guru. Penilaian ini akan ditujukan untuk mengukur proses,  peforma, dan produk belajar yang dihasilkan siswa selama mengikuti pembelajaran. Oleh sebab itu, wajarlah jika Greenstein (2010:6) menyatakan penilaian formatif sebagai penilaian yang dilakukan untuk meningkatkan fokus pembelajaran, mengkreasikan pembelajaran, meningkatkan kinerja guru dan siswa selama pembelajaran, dan meningkatkan hubungan antara kurikulum, pembelajaran, dan penilaian, lebih lanjut wormwli (2006: 28) dan browne (2007: 153) menyatakan bahwa penilaian formatif sesungguhnya adalah penilaian otentik yang memantau perkembangan belajar siswa selama proses pembelajaran secara utuh oleh sebab itu, wormeli dan browne menyarankan agar memahami tes sebagai alat belajar dan alat merakit pembelajaran.
Berbeda dengan formatif, penilaian sumatif lebih memfokuskan dari dalam menjaring data berupa hasil belajar akhir yang harus dimiliki siswa. Penilaian ini berfungsi untuk mengetahui apakah status kompetensi telah dikuasai siswa secara utuh atau belum. Penilaian ini bukanlah penilaian yang dilakukan di akhir semester melainkan penilaian yang dilakukan pada akhir pokok bahasan tertentu.
2. penilaian pengetahuan dan penilaian peforma
Penilaian pengetahuan merupakan penilaian yang dilakukan untuk megukur pengetahuan yang dimiliki siswa. Dalam konteks ini, pengetahuan biasanya diukur berdasarkan jenjang kognitif sebagai dikemukakan bloom (1956) yang telah di revisi kathwol, et al (2001) meliputi tahap ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi, mencipta instrumen utama yang biasanya digunakan.
Menurut Popham (2011a) ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam membuat penilaian kinerja beberapa kriteria evaluasi untuk penilaian kinerja adalah sebagai berikut.
1. generalisasi hasil penilaian kinerja harus dapat digeneralisasikan dengan penilaian orang lain
2 otentik penilaian harus mencerminkan konteks kehidupan nyata
3 banyak fokus dapat mengukur berbagai hasil belajar
4 dapat diterapkan dalam pembelajaran
5 adil harus memberikan penilaian sesuai dengan kemampuan siswa
6 Raya dapat digunakan karena ekonomis praktis dan efisien
7 berbasis skor penilaian harus menggunakan skor dan prosedur penskoran yang jelas.
Dalam praktik penilaiannya ada dua cara yang digunakan untuk menilai kinerja siswa yakni cara holistik dan cara analitis. Cara holistik digunakan apabila para pencela hanya memberikan satu buah skor atau nilai berdasarkan penilaian mereka secara keseluruhan dari hasil kinerja peserta tes. Pada cara analitis memberikan skor pada berbagai aspek yang berbeda yang berhubungan dengan kinerja yang dinilai. Beberapa cara menskor kemampuan keterampilan atau kemampuan kinerja peserta tes dengan metode analitik antara lain adalah dengan cara menggunakan (1) ceklis dan (2) rating scale.
Popham (2011a) menyatakan bahwa penilaian kinerja setidaknya memiliki tiga karakteristik umum yaitu sebagai berikut.
a. multi kriteria, kinerja siswa harus menggunakan penilaian yang memiliki lebih dari satu kriteria
b. standar kualitas yang spesifik, masing-masing kriteria kinerja siswa dapat dinilai secara jelas dan eksplisit dalam maju dan evaluasi kualitas kinerja siswa
c. adanya judgement penilaian, asesmen kinerja membutuhkan penilaian yang bersifat manusiawi untuk menilai bagaimana kinerja siswa dapat diterima secara nyata (real), bukan menilai dengan menggunakan angka pada komputer atau mesin (seperti pada tes baku).
Dalam konteks kurikulum 2013, penilaian kinerja menjadi penilaian penting yang akan banyak digunakan guru. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa proses pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013 akan ditekan pada pengembangan keterampilan siswa. Oleh sebab itu, guru harus benar-benar menguasai teknik pengembangan penilaian kinerja agar mampu menilai siswa secara tepat, valid dan reliabel.
3. penilaian proyek, produk dan portofolio
Proyek adalah tugas yang harus diselesaikan dalam periode atau waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi sejak dari pengumpulan, pengorganisasian, evaluasi hingga penyajian data karena dalam pelaksanaan proyek bersumber pada primer atau sekunder, evaluasi dan hasil kerjasama dengan pihak lain. Proyek merupakan suatu sarana yang sangat penting menilai kemampuan umum dalam suatu bidang. Penilaian proyek dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan mengaplikasikan, kemampuan penyelidikan dan kemampuan menginformasikan sesuatu secara jelas.
Dalam menerapkan penilaian proyek setidaknya ada 3 (tiga) hal yang perlu dipertimbangkan guru yakni sebagai berikut.
a. kemampuan pengelolaan
Kemampuan peserta didik dalam memilih topik, mencari informasi dan mengelola waktu pengumpulan data serta penulisan laporan.
b. relevansi kesesuaian dengan mata pelajaran, dengan mempertimbangkan tahap pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam pembelajaran.
c. Keaslian
Proyek yang dilaksanakan peserta didik harus merupakan hasil karyanya. Dengan mempertimbangkan kotribusi pendidik berupa petunjuk dan dukungan terhadap proyek peserta didik (Depdiknas 2007a).
Penilaian proyek dilakukan mulai dari perencanaan, proses pengerjaan, sampai hasil akhir proyek. Untuk itu, guru perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai, seperti penyusunan desain, pengumpulan data, analisis data dan penyiapan laporan tertulis. Laporan tugas atau hasil proyek yang disajikan dalam multi bentuk sesuai dengan tujuan proyek juga harus dinilai. Pelaksanaan penilaian ini dapat menggunakan alat atau Instrumen penilaian berupa daftar cek ataupun skala penilaian. Secara lebih rinci proses penilaian proyek harus dilakukan pada setiap tahap proyek meliputi (1) tahap persiapan dengan aspek yang dinilai meliputi penilaian kemampuan peserta didik dan merencanakan, menggali dan mengembangkan gagasan, dan mendesain produk; (2) tahap pembuatan dengan aspek yang dinilai meliputi penilaian kemampuan peserta didik dalam menyeleksi dan menggunakan bahan, alat dan teknik; dan (3) tahap penilaian produk (appraisal), dengan aspek yang dinilai meliputi penilaian kualitas produk yang dihasilkan peserta didik sesuai kriteria yang ditetapkan.

Dalam konteks kurikulum 2013, penilaian proyek akan banyak digunakan guru baik pada jenjang Sekolah Dasar maupun jenjang Sekolah Lanjutan. Pada jenjang sekolah dasa,r penilaian proyek bahkan akan lebih sering digunakan sebab penilaian ini merupakan salah satu penilaian utama untuk mengukur kemampuan siswa mengintegrasikan pemahaman dari berbagai Mata Pelajaran yang dipelajari nya. Salah satu contoh penggunaan penilaian proyek dalam konteks pembelajaran integratif adalah penilaian poster karya anak. Terhadap poster anak dapat dilakukan penilaian dari 3 mata pelajaran sekaligus misalnya poster tentang cara menanggulangi banjir, isinya dapat dinilai dari Dinilai dari mata pelajaran IPA, bahasanya dapat dinilai dan pembelajaran bahasa Indonesia dan kerapian dan keindahan gambar yang dapat dinilai dari mata pelajaran seni budaya dan keterampilan.
Selain penilaian proyek, penilaian produk merupakan penilaian yang akan banyak digunakan dalam menilai kemampuan siswa dalam pembelajaran kurikulum 2013. Penilaian produk adalah penilaian terhadap proses pembuatan dan kualitas suatu produk. Penilaian produk meliputi penilaian kemampuan peserta didik membuat produk-produk teknologi dan seni, seperti makanan, pakaian, hasil karya seni (patung, lukisan, gambar) barang-barang terbuat dari kayu, kerami,k plastik dan logam.
Dalam menilai produk, guru dapat menggunakan dua cara sebagai menilai kinerja yakni secara holistik atau analitis secara holistik yaitu berdasarkan kesan keseluruhan dari produk, biasanya dilakukan pada tahap appraisal. Secara analitis yaitu berdasarkan aspek-aspek produk, biasanya dilakukan terhadap semua kriteria yang terdapat pada semua tahap proses pengembangan.
Penilaian lain yang paling dianjurkan digunakan dalam pembelajaran pada kurikulum 2013 adalah penilaian portofolio. Portofolio dapat diartikan sebagai kumpulan hasil evidence (objek penilaian) atau hasil belajar atau karya peserta didik dari waktu ke waktu dan dari satu mata pelajaran yang lain. Penilaian portofolio dapat diartikan sebagai kumpulan karya atau dokumen peserta didik yang tersusun secara sistematis dan terorganisasi yang diambil selama proses pembelajaran, digunakan guru dan peserta didik untuk menilai dan memantau perkembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik dalam mata pelajaran tertentu.
            Secara umum penilaian portopolio dapat dibedakan ke dalam bentuk yang banyak dikenal dewasa ini, yaitu tinjauan proses (process oriented) tujuan hasil (products oriented). portopolio proses (process oriental) adalah portopolio yang melakukan pada tinjauan bagaimana perkembangan peserta didik dapat di amti dan di nilai dari waktu ke waktu. Pendekatan ini lebih menekankan pada bagaimana peserta didik belajar, berkreasi, termasuk mulai dari draf awal, bagaimana proses awal itu terjadi dan tentunya sepanjang peserta didik dinilai. 
            Hal yang dinilai mencakup kemampuan awal, di tengah atau di akhir suatu pekerjaan yang dilakukan peserta didik, misalnya terdapat tiga draf awal. Kedua, perbaikan draf awal setelah mendapat komentar dari guru atau teman satu kelompok. Ketiga, draf akhir. Hasil kerja peserta didik dalam portopolio jenis ini biasanya proses pembuatan suatu karya atau pekerjaan di diskusikan antara peserta didik lainnya. Salah satu bentuk tujuan proses adalah portopolio kerja yaitu bentuk yang digunakan untuk memilih koleksi evidence peserta didik yang dilakukan dari hari ke hari.
            Dalam dinia pendidikan, hasil pekerjaan peserta didik yang paling baik menjadi petunjuk apakah peserta didik telah meguasai kompetensi dasar yang telah ditentuhkan dan dapat dijadikan bahan masukan bagi guru baik untuk mengetahui pencapaian kompetensi dasar maupun indikator sebgai alat penilaian formatif. Berjalan dengan kenyataan ini, fortopolio berfungsi untuk mengetahui perkembangan pengetahuan peserta didik dalam mata pelajaran tertentu.
            Portopolio ditinjau dari hasil products oriented  adalah portopolio yang menekankan pada tujuan hasil terbaik yang telah dicapai peserta didik. Tanpa memperhatikan bagaimana proses untuk mencapai evidence itu terjadi. Portopolio semacam ini bertujuan untuk mendokumentasikan dan merefleksikan kualitas prestasi yang telah dicapai. Penilaian bentuk ini biasanya memerluakn peserta didik untuk mengoleksi semua pekerjaan mereka dimana pada suatu saat mereka harus menunjukkan evidence  yang terbaik. Hasil pekerjaan peserta didik yang paling baik menjadi petunjuk apakah peserta didik telah memahami program pembelajaran yang telah ditentuhkan dan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi guru, baik untuk mengetahui pencapaian kurikulum maupun sebagai alat penilaian formatif.
            Portopolio produk selanjutnya dapat juga dibedakan atas portopilio dokumentasi dan portopolio penampilan. Portopolio dokumentasi adalah bentuk yang digunakan untuk memilih koleksi evendence peserta didik yang khusus digunakan untuk penilaian. Portofolio dokumentasi adalah penilaian terhadap koleksi pilihan daru sekumpulan evidence  peerta didik dalam kurung waktu tertentu. Penilaian portopolio dokumentasi diranang untuk menilai peserta didik yang terbaik dalam satu kompetensi dasar atau indikator pencapaian belajar dalam kurung waktu termsuk didalam proses yang digunakan untuk menghasilkan karya tersebut.
            Portofolio penampilan adalah bentuk yang digunakan untuk memilih evidence yang paling banyak dikerjakan oleh peserta didik ataupun kelompok peserta didik. Portofolio penampilan hannya berisi pekerjaan peserta didik yang telah selesai, tidak mencakup proses pekerjaan, perbaikan, dalam penyempurnaa, pekerjaan peserta didik. Portofolio penampilan sangat berguna untuk penampilan yang bergantung pada seberapa tepat evidence  peserta didik telah menunjukkan kemampuan sebenarnya.
            Penilain prtofolio bertujuan sebagai alat formatif maupun sumatif untuk memantau kemajuan persrta didik dari hari ke hari dan untuk mendorong peserta didik dalam merefleksi pembelajaran mereka sendiri. Portofolio dapat juga berfungsi sebagai alat untuk:
a.       Melihat perkembangan tanggung jawab peserta didik dalam belajar.
b.      Perluasan dimensi belajar
c.       Pemahaman kembali proses belajar mengajar
d.      Penekan pada pengembangan pandangan peerta didik dalam belajar.
e.       Memberikan informasi kepada orang tua tentang perkembangan peserta didik secara lengkap dengan dukungan data dan dokumen yang akurat.
Portofolio dianggap sebagai penilaian yang mampu mengukur pemahaman sekaligus keterampilan yang dimiliki siswa. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa penilaian portofolio memiliki karakteristik sebagaimana diuaikan dibawah ini.
a.    Multi sumber, artinya portofolio memungkinkan untuk menilai berbagai macam evidence
b.    Otentik, artinya ditunjau dan konteks mauun fakta harus berkaitan satu sama lain.
c.    Dinamis, artinya portofolio mencakup perkembangan dan perubahan.
d.   Eksplisit, artinya semua tujuan pembelajaran berupa kompetensi dasar dan indikator harus dinyatakan dengan jelas.
e.    Integrasi, portofolio senantiasa berkaitan antara program yang dilakukan peserta didik dikelas dengan kehidupan nyata.
f.     Kepemilikan, penilaian portofolio menekankan pada adanya rasa kepemilikan, yaitu adanya keterkaitan antara evidence dengan kompetensi dasar dan indikator yang telah ditentuhkan dalam rangka mencapai standar kompetensi tertentu.
g.    Beragam tujuan, portofolio dilaksanakan tidak hanya mengacu pada suatu standar kompetensi dasar, dan indikator pemcapaian hasil belajar misalnya, tetapi juga mengacu keberbagai tujuan misalnya beberapa indikator pencapaian hasil belajar.

4. Penilaian Sikap, Penilaian diri, dan Penilaian Proses
            Penilaian sikap merupakan penilaian kelas terhadap suatu konsep psikologis yang kompleks. Dalam proses pembelajaran penilaian sikap ini bermanfaat untuk mengetahui faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi proses pembelajaran dan juga sebagai feed back pengembangan pembelajaran. Pada umumnya penilaian sikap dalam berbagai mata pelajaran dapat dilakukan berkaitan dengan objek sikap sebagai berikut:
a.       Sikap terhadap mata pelajaran
b.      Sikap terhadap guru mata pelajaran
c.       Sikap terhadap proses pembelajaran
d.      Sikap terhadap materi pembelajaran
e.       Sikap berhubungan dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan dalam diri siswa melalui materi tertentu.
f.       Sikap berhubungan dengan kompetensi anak
Pengukuran sikap dilakukan dengan beberapa cara antara lain: observasi, penilaian diri, penilaian teman, penggunaan jurnal. Observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan guru secara berkesinambungan dengan menggunakan indra, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku yang diamati. Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian diri atau lebih tepatnya adalah tes skala sikap.
Skala sikap adalah sejenis angket tertutup dimana pertanyaannya mengandung sifat-sifat dari nilai-nilai yang menjadi tujuan pengajaran dan alternatif jawabannya mencerminkan atau menampakkan sifat dari nilai  yang dimiliki siswa sebagai hasil belajarnya dalam bentuk bertingkat (rating). Nilai yang paling cocok dievaluasi dengan skala sikap adalah yang bersifat rasional sosial. Keuntungan menggunakan sekala sikap antara lain cepat dalam membuatnya, dapat dipakai untuk jumlah siswa yang banyak, dapat dipakai berulang-ulang asal tidak terjadi kebocoran. Menilai sikap dengan menggunakan skala sikap dapat dilakukan siswa dengan mudah sebab siswa tinggal memberi tanta cek (centang) pada skala yang menentuhkan sikap atau drajat dari sifat niali yang dimilikinya pada setiap pertanyaan-pertanyaan.
Selain menggunakan skala sikap, yang berarti siswa menilai dirinya sendiri, penilaian sikap dapat dilakukan melalui penilaian “teman sejawat” (peer evaluation) dan jurnal. Penilaian antar peseta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peseta didik untuk saling menilai, terkait dengan pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian antara peserta didik adalah daftar cek atau skala penilaian (rating scale)  yang disertai rubuk, jurnal merupakan catatan pendidik didalam dan diluar kelas yang berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkaitan dengan sikap dan prilaku. Instrumen yang digunakan untuk menilai sikap dengan menggunakan jurnal berupa catatan pendidik.
Penilaian diri adalah suatu teknik penilaian dimana peserta didik diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses dan tinggkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya. Teknik penilaian diri dapat digunakan untuk mengukur ompetensi kognitif, afektif dan psikomotorik. Penilaian kompetensi kognitif dikelas, misalnya peserta didik diminta untuk menilai penguasaan, pengetahuan dan keterampilan berfikirnya sebagai hasil belajar dari suatu mata pelajaran tertentu. Penilaian dirinya didasarkan atas kriteria ayau acuan yang telah disiapkan. Penilaian kompetensi afektif, misalnya peserta didik dapat diminta untuk membuat tulisan yang membuat curahan perasaannya terhadap suatu objek tertentu. Selanjutnya, peserta didik diminta untuk melakukan penilaian berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan. Berkaitan dengan penilaian kompetensi psikomotorik, peserta didik dapat diminta untuk menilai kecakapan atau keterampilan yang telah dikuasainya berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapakan.
Penggunaan teknik ini dapat memberi dampak positif terhadap perkembangan kepribadian seseorang. Keuntungan penggunaan penilaian diri dikelas antara lain:
a.         Dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri.
b.         Peserta didik menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya, karena ketika mereka melakukan penilaian, harus melakukan introfeksi terhadap kelemahan dan kekuatan yang dimilikinya.
c.         Dapat mendorong membiaskan, dan melatih peserta didk  untuk berbuat jujur, karena mereka dituntut untuk jujur dan objektif dalam melakukan penilaian.
            Dalam mengimpementasikan penilaian diri selama proses penilaian, ada beberapa jenis penilaian diri yang dapat digunakan, beberapa jenis penilaian diri yang dapat digunakan tersebut diantaranya sebagai berikut:
a.      Penilaian langsung dan spesifik, yaitu penilaian secara langsung, pada saat atau setelah melakukan tugas untuk menilai aspek aspek kompetensi tertentu dari suatu mata pelajaran.
b.      Penilaian tidak langsung dan hilistik, yaitu penilaian yang dilakukan dalam kurun waktu yang panjang, untuk memberikan penilaian secara keseluruhan.
c.      Penilaian sosio-afektif, yaitu penilaian terhadap unsur-unsur afektif atau emosional, misalnya peserta didik dapat diminta untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu objek tertentu. (Depdiknas 2007a)
            Penilaian dipandang memiliki kelemahan utama yankni bahwa ada kecendrungan peserta didik akan menilai secara subjektif. Karena itu, penilaian diri harus dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas dan objektif. Untuk itu penilaian diri oleh peserta didik dikelas perlu dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a.         Menjelaskan kepada peserta didik tujuan penilaian diri
b.         Menentuhkan kompetensi atau aspek kemampuan yang akan dinilai
c.         Menentuhkan kriteria penilaian yang akan digunakan
d.        Merumuskan format penilaian, dapat berupa pedoman penskoran, daftar, tanda cek, atau skala penilaian.
e.         Meminta peserta didik untuk melakukan penilaian diri
f.          Guru mengkaji hasil penilaian, untuk mendorong peserta didik supaya senantiasa melakukan penilaian diri secara cermat dan objektif.
g.         Lakukan tindakan lanjutan, antara lain guru memberikan balikan tertulis, guru dan siswa membahas bersama proses dan hasil penilaian (Setiamiharja, 2012)
            Penilaian proses merupakan penilaian yang dilakukan atas hasil kinerja selama proses pembelajaran. Penilaian buakn mengukur aktif tidak aktif atau jenis pengukuran kualitatif lainnya melainkan penilaian yang dilakukan atas capaian belajar yang diperoleh siswa pada setiap tahapan belajar. Dengan demikian penilaian proses bersifat formatif.

C. Penilain Otentik Dalam Konteks Kurikulum 2013
Brown (2004:4) menyatakan bahwa penilaian adalah metode yang digunakan untuk mengukur kemampuan, pengetahuan, atau perfoma seseorang. Pengertian yang dikemukakan brown ini lebih jelas memberika gambaran kepada kita bahwa penilaian dilakukan sebagai sebuah metode pengukuran atas pengetahuan, kemampuan dan perfoma seseorang. Lebih lanjut Brown (2004 ; 5-7) menegaskan bahwa dalam penilaian pembelajaran dapat dibedakan beberapa jenis penilaian, yakni penilaian formal dan informal, penilain diskret dan integratif, dan penilaian perfoma. Berdasarkan jenis penilaian perfoma inilah kemudian lahir istilah penilaian alternatif dan otentik yang saat ini sedang banyak digunakan dalam dunia pendidikan.
            Model penilaian otentik (auntentic assessment)  dewasa ini banyak banyak dibicarakan didunia pendidikan karena model ini derekomendasiakn atau bahkan harus ditekankan, penggunaanya dalam kegiatan menilai hasil belajar. Salah satu permasalahan yang muncul adalah belum tentu semua guru memahami konsep dan pelaksanaan penilaian otentik. Jika sebuah konsep belum terpahami, bagaimana mungkin penilaian ini akan digunakan untuk keperluan praktis pada kegiatan pembelajaran. Dalam hal ini, mungkin saja orang menyangka atau mengatakan telah mempergunakan penilaian otentik untuk menilai hasil belajar siswa, tetapi pada kenyataannya tidak demikian.
            Nurgiantoro (2011:4) menyatakan bahwa pada hakikatnya penilaian otentik merupakan kegiatan penilaian yang dilakukan tidak semata-mata untuk menilai hasil belajar siswa, melainkan juga berbagai faktor yang lain, antara lain kegiatan pembelajaran yang dilakukan itu sendiri. Artinya, berdasarkan informasi yang diperoleh dapat pola dipergunakan sebagai umpan baik penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan. Dalm definisi yang lebih terfokus,  Hart (Gulikers, Bastiaens dan Kirschner, 2008) menyatakan bahwa penilaian otentik yaitu penilaian yang melibatkan siswa didalam tugas-tugas otentik yang bermanfaat, penting, dan bermakna yang selanjutnya dapat dikatakan sebagai penilaian perfoma. Hal senada juga dijelaskan oleh  Johnson dan johnson (2002:) bahwa penilaian otentik meminta siswa untuk mendemonstrasikan keterampilan atau prosedur dalam konteks dunia nyata.
Authentic assessment requeres students to denonstrate desired skill or procedure in real-life contexs. To conduct an aunthentic assessment in science, for example: you may assign students to research teams that work on a cure for cancer bay (1) cinducting an experiment, (2) writing a lab report summarizing results (3) writing in journal, and making oral presentation.
Bagnato (2007: 27) mendefinisikan  authentic assessment sebagai berikut:
Assessment authentic is deliberate plan for istigatnve the natural behavior of student. Information is captured though direct observation and recordings. Interviews, rating scales, and observed samples of the natural orfacilitated play and daily living skills of all students. Authentic content invites teaching because the items are pecursive to or are part of the curriculum.
Penilaian otentic juga merupakan sebutan yang digunakan untuk menggambarkan tugas-tugas yang riil yang dibutuhkan siswa-siswa untuk dilaksanakan dalam menghasilkan pengetahuan memproduksi informasi. Sebagai contoh dalam pembelajaran membaca seorang siswa belumlah dikatakan belajr secara secara bermakna bilamana dia belum mampu menyusun prediksi, membuktikan prediksi, dan menceritakan kembali isi bacaan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran sangat perlu dilakukan penilaian otentik untuk menjamin pembentukan kompetensi riil pada siswa.
            Secara lebih tegas Wormile (2006: 32) menyatakan bahwa penilaian otentik mengacu pada dua aspek. Pertama penilaian otentik berhubungan dengan bagaimana siswa mampu mengaplikasikan hasil belajarnya di dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, penilaian otentik, merupakan penilaian yang mampu mengtahui secara jelas bagaimana siswa belajar dan hal-hal apa yang menyebabkan siswa terdorong untuk belajar. Berdasarkan pandangan ini penilaian otentik merupakan penilaian yang dilakukan dengan menekankan fungsi penilaian dalam dimensi sosial dan juga dimensi edukatif. Penilaian semacam ini merupakan penilaian yang berfungsi sebagai pemandu proses pembelajaran berbasis pembelajran berdiferensiasi sehingga pembelajaran benar-benar memiliki prosedur yang berurutan secaratepat sesuai keberadaan siswa.
            Johnson, et.el (2009:2) lebih jauh mengatakan bahwa penilaian otentik pada dasarnya adalah penilaian perfoma yakni penilaian yang dilakukan untuk mengetahui pengetahuan dan keterampilansiswa selam proses pembelajaran dalam mencapai produk atau hasil belajar tertentu. Penilaian otentik mementingkan penilaian proses dan sekaligus hasil. Dengan demikian, seluruh perfoma siswa dalam rangkaian kegiatan pembelajaran dapat dinilai secara objektif. Cara penilaian juga ermacam-macam serata dapat dilakukan kapan saja bersamaan dengan kegiatan pembelajaran. Namun, semuanya harus tetap terencana secara baik. Penilaian yang dulakukan lewat berbagai cara atau model, menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang kemudian disebut sebagai penilaian otentik. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin objektif, nyata, konkret, benar-benar hasil tampilan siswa, serta akurat dan bermakna.
            Senada dengan beberapa pendapat diatas,  Gulikers, Bastiaens  dan Kirschner (2008:76) menyatakan :
The definition of authentic assessment is an assessment requiring students to demonstrate the same (kind of) competencies, or combinations of knowledge, skills, and attitudes, that they need to apply in a criterion situation derived from professional practice. The level of authenticity of an assessment is thus defi ned by its degree of resemblance to the criterion situation. This idea is extended and specifi ed by the theoretical framework describing that an assessment can resemble a criterion situaion along a number of dimensions.
            Lebih lanjut Richardson, ed, el. (2009:58-59), menjelaskan bahwa:
The term authentic assessment prefer to alternative assessment, authentic assessment offers a viable solution. This term often refers to assessment that takes is actually used or applied place in naturalistic situations that resemble the settings in witch a skill or knowladge, the context for authentic assessment might include observing a performance ao simulation or completing a task in a real-world situation. Students will want to do well because the real world consequences are clear. The process of completing the task reveals as much (or more) about the student’s learning as the product recorded as a test grade.
            Berdasarkan beberapa pengertian diatas, sangat jelas bahwa penilaian otentik sangat terkait dengan upaya pencapaian kompetensi. Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang terunjukkerjakan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak dalam suatu persoalan yang dihadapi. Ciri utama kompetensi adalah mampu mengerjakan sesuatu, yaitu siswa dapat melakukan sesuatu berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya. Melalui penilaian otentik, hal tersebut sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, KTSP dengan jelas menyarankan guru untuk mengurangi menggunakan tes-tes objektif.
            Menurut  Mueller (Nurgiyantoro, 2011) asesmen otentik adalah suatu penilaian belajar yang merujuk pada situasi atau konteks dunia “nyata” yang memerlukan berbagai macam pendekatan untuk memecahkan maslah yang membenarkan kemungknan bahwa satu masalah bisa mempunyai lebih dari satu macam pemecahan. Dengan kata lain, asesmen otentik memonitor dan mengukur kemampuan siswa dalam bermacam-macam kemungkinan pemecahan mmasalah yang dihadapi dalam situasi atau koteks dunia nyata dan dalam suatu proses pembelajaran nyata. Dalam suatu proses pembelajaran, penilaian otentik mengukur, memonitor dan menilai semua aspek hasil belajar (yang tercakup dalam domain, kogitif, afektif dan psikomotorik), baik yang tampak sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelajaran, maupun berupa perbahan danperkembangan aktivitas, dan perolehan belajar selama proses pembelajaran dalam kelas maupun diluar kelas.
            O’Malley dan Pierch (1996:4) mendefinisikan authentic assessment sebagai berikut:
Authentic assessment is an evaluation process  that involves multiple forms of perfimance assessment reflecing the student’s learning achievement, motivation, and attitudes o instructionally-relevant activities. Example of authentic assessment technucques include performance assessment, portofolio, and self-assessment.
            Senada dengan pendapat diatas, Dorn, et, al. 2004:98) menyatakan bahwa:
Authentic assessment requires the constructions of alternative assessment items. Alternative assessment is considered one alternative to what is traditional (objective tests eassay). It also is focused an student performance, which is observable evidence of what students know and can do. Authentic assessment calls for authentic performances, which include Real-life decisions. Authentic lerning in art implies purposeful, meaningful application of revant information, as opposed to the acquiring of factul knowledge for its own sake. Its also inspires changes in curricular practices in the assessment process.
Sejara dengan uraian tentang pengertian penilaian otentik di atas, dapat disarikan bahwa penilaian otentik adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentipikasi bahwa  siswa mengalami kesulitan dalam belajar, guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kesulitan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, penilaian ini tidak dilakukan  di akhir priode saja (akhir semester). Oleh sebab itu, kegiatan penilaian dilakukan secara integratif dengan gegiatan pembelajaran. Penilaian semacam ini dapat disebut sebagai penilaian otentik.
Richardson, et al. (2009: 59) mengemukakan beberapa karakteristik penilaian otentik sebagai berikut.
1.      Berisi seperangkat tugas penting yang dirancang secara luas dalam merepresentasikan bidang kajian tertentu.
2.      Menekankan kemampuan berpikir tinkat tinggi.
3.      Kritria selalu diberikan di muka sehingga siswa tahu bagaimana mereka akan dinilai.
4.      Penilaian berpadu dalam kerja kurikulum sehari-hari sehingga sulit untuk membedakan antara penilaian dan pembelajaran.
5.      Peran guru berubah dari penyampai pengetahuan (atau bahkan antagonis) menjadi beperan sebagai fasilitator, model, dan teman dalam belajar.
6.      Siswa mengetahui bahwa akan ada presentasi di hadapan publik atas pekerjaan yang telah dicapai sehingga  mereka akan sungguh-sungguh mengerjakan tugas tersebut.
7.      Siswa tahu bahwa akan ada pemeriksaan baik dari proses yang mereka digunakan dalam pembelajaran dan produk-produk yang dihasilkan dari pembelajaran.
          Sejalan dengan Richardson, et al., Marhaeni (2005) mengungkapkan bahwa secara garis besar, penilaian otentik memiliki sifat-sifat (1) berbasis kompetensi yaitu garis besar, penilaian yang mampu memantau kompotensi seseorang; (2) bersifat individu karena kompetensi tidak dapat disamaratakan pada semua orang, tetapi bersipat personal; (3) berpusat pada peserta didik karena direncanakan dilakukan, dan dinilai pleh guru dengan melibatkan secara optimal perserta didik sendiri; (4) otentik (nyata, riil seperti kehidupan sehari-hari) dan sesuai dengan proses pembelajaran yang dilakukan, sehingga penilaian otentik berlangsung secara; (5) teritegrasi dengan proses pembelajaran; (6) penilaian otentik bersifat on-going atau berkelanjutan sehingga penilaian harus dilakukan secara langsung pada saat proses belajar mengajar berlangsung sehingga proses dan produk belajar dapat terpantau.
Moon (2005) menyatakan beberapa karateristik penilaian otentik sebagai berikut.
1. Are focused on contet that is essential, focusing on the big ideas or concepts, rather than trival microfacts or specialized skills;
2. Are in-depth in that they lead to other problems and questions;
3. Are feasible and can be done easily and safely within a school and classroom;
4. Focus the ability to produce a quality produci or performance, rather than a single right answer;
5. Promote the developmen and display of student strengths and expertise (the focus is on what the student knows);
6. Have criteria that are known, umderstood, and negotiated between the teacher and student before the assessment begins’
7. Provide multipe ways in which students can demonstrate they have mel the criteria, allowing multiple points of view and multiple interpretations;
8. Require scoring that focuses on the essence of the task and not what is easiest to score.
          Lebih lanjut Marhaeni (2005) menyimpulkan bahwa ada beberapa pembaharuan yang tampak pada penilaian otentik yaitu; (1) melibatkan siswa dalam tugas yang penting, menarik, berfaedah dan relevan dengan kehidupan nyata siswa; (2) tampak dan trasa sebagai kegiatan belajar, bukan tes tradisional; (3) melibatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan mencakup pengetahuan yang luas, (4) menyadarkan siswa tantang apa yang harus dikerjakannya akan dinilai; (5) merupakan alat penilaian dengan latar stadar (standar setting), bukan alat penilaian yang distandarisasikan; (6) berpusat pada siswa (student centered) bukan berpusat pada guru (teacher centered); (7) dapat menilai siswa yang berbeda kemampuan, gaya belajar dan latar belakang kulturnya.
Secra lebih tegas, Mueller(Nurgyantoro, 2011: 26) menyatakan bahwa penilaian otentek memiliki karaktristik sebagai berikut.
1. Misi sekolah adalah mengembangkan warga negara yang produktif.
2. Untuk menjadi warga negara produktif, seseorang harus mampu menunjukkan penguasaan melakukan sesuatu secara bermakna dalam dunia nyata.
3. Sekolah mesti mengembangkan siswa untuk dapat mendemontrasikan kemampuan/keterampilan melakukan sesuatu.
4. Untuk mengukur keberhasilan pembeljaran, guru harus meminta siswa melakukan aktivitas tertentu secara bermakna yang mencerminkan aktivitas di dunia nyata.
5. Penilaian memandu pembelajarn, hal yang pertama  harus dilakukan guru adalah pertimbangan tugas yang harus didemintrasikan oleh siswasebagai bentuk penguasaan performa atau tugas tersebut.
          Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penilaian otentik memiliki sifat berpusat pada perserta didik, teritgerasi dengan pembelajaran, otentik, berkelanjutan, dan individu. Sifat penilaian otentik yang komprensif juga dapat membentuk unsur-unsur metakognisi dalam diri perserta didik seperti kemauan mengambil risiko, kreatif, mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan berpikir kreatif, tanggung jawab terhadap tugas dan karya, dan rasa kepemilikan.
          Penilaian otentik sebenarnya telah dikenal di dunia pendidikan, tetapi baru naik daun era ktsp. Sebenarnya, bentuk-bentuk penilaian otentik bukan merupakan barang asing bagi pendidik di indonesia karena sebagian guru telah melakukan penilaian model itu. Hanya memang pada umunya guru telah melakukan penilaian model tradisional. Penilaian tradisional dalam kaitan ini dilihat sebagai penilaian yang lebih banyak menyadap pengetahuan yang telah dikuasai siswa sebagai hasil belajar yang pada umumnya ditagih lewat bentuk-bentuk tes objektif. Di pihak lain, penilaian otentik lebih menekankan pada pemberian tugas yang menuntut pembelajar menampilkan, mempraktikkan, atau mendemontrasikan hasil pembelajaran di dunia nyata secara bermakna yang mencerminkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan dalam suatu mata pelajaran. Singkatnya, penilaian tradisional lebih menekankan tagihan penguasan pengetahuan, sedangkan penilaian otentik kinerja atau tampialan yang mencerminkan penguasan pengetahuan dan keterampilan. (Nurgiyantoro, 2008)
          Selain hal-hal di atas, hal laian yang membedakan kedua jenis penilaian tersebut, jika dubuat secara pilah dikotomis, adalah berupa perbedaan antara:  (i) memilih jawaban dan menunjukkan suatu aktivitas; (ii) menunjukkan penguasaan pengetahuan dan mendemontrasikan kemampuan dengan melakukan sesuatu; (iii) memanggil kembali atau rekognisi dan mengonstruksi atau aflikasi; (iv) soal dan jawaban disusun guru dan siswa menyusun sendiri jawaban; dan (v) bukti tidak langsung dan bukti langsung (faktual) (Marhaeni 2005).
D. Keutamaan Penilaian Otentik Dalam Konteks Kurikulum 2013
          Berbicara tentang keutamaan penilanian otentik akan sangat bertemali dengan berbagai sudut pandang. Dalam sudut pandang penilaian sendiri, penilaian otentik memiliki kehutanan dibanding dengan jenis penilaian lain. Keutamaan penilaian otentik dibanding penilaian jenis lain di kemukakan Newmann, et.at.(1995: 3-4) sebebagai berikut;
1. Penilaian otentik memiliki legitimasi yang jelas dalam hal bahan ajar, keterampilan, dan karakter sehingga bahan ajar, keterampilan, dan karakter yang terkandung dalam penilaian otentik di anggap penting dan dibutuhkan dalam proses belajar mengajar maupun bagi kehidupan sehari-hari siswa.
2. Penilaian otentik mampu menilai secara akurat kemampuan siswa sejalan dengan capaian perkembangan yang diperolehnya dalam setiap tahapan pembelajaran. Atas dasar keakuratan ini, hasil penilaian otentik dapat secara langsung menyentuh pemecahan masalah belajar yang dibutukan para siswa.
3. Penilaian otentik merupakan penilaian yang mengutamakan kebermaknaan belajar sehingga penilaian otentik menuntut siswa untuk membanguan pengetahuannya sendiri melalui pola-pola inkuiri dan sekaligus mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang berguna bagi siswa bukan hanya di sekolah tetapi juga dalam kehidupannya di masyarakat.
          Senada dengan pendapat di atas, Mueller (Nurgiyantoro, 2011:24-25) juga mengemukakan beberapa keutamaan penerapan penilaian otentik dalam pembelajaran. Beberapa kehutanan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pertama, penggunaan penilaian otentik memungkinkan dilakukannya pengukuran secara langsung terhadap kinerja pemelajar sebagai indikator capaian kompetensi yang dibelajarkan.
2. Kedua, penilian otentik memberi kesempatan pemelajar untuk mengonstruksikan hasil belajar. Dengan penilaian otentik pemelajar dimintak untuk mengonstruksi apa yang telah diperoleh ketika mereka dihadapkan pada situasi konkret. Dengan cara ini pemelajar akan menyeleksi dan menyusun jawaban berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan analisis situasi yang dilakukan agar jawabannya relevan dan bermakna.
3. Ketiga, penilaian otentik memungkinkan terintegrasikannya kegiatan pengajaran, belajar, dan penilaian menjadi satu paket kegiatan yang terpadu. Ketiga hal tersebut, merupakan satu rangkaian yang memang sengaja didesain demikian. Ketiga guru membelajarkan suatu topik dan pembelajar aktif mempelajar, penilaiannya bukan semata berupa tagihan terhadap penguasaan topik itu, melainkan pembelajar juga dimintak untuk berunjuk kerja memperaktikannya dalam sebuah situasi konkret yang sengaja diciptakan.
4. Keempat, penilaian otentik memberi kesempatan pemelajar untuk menampilkn hasil belajarnya, unjuk kerjanya, dengan cara yang dianggap paling baik. Singkatnya, model ini memungkinkan pemelajar memilih sendiri cara, bentuk, atau tampilan yang menurutnya paling efektif.
          Sejalan dengan pendapat di atas, pengguanaan penilaian otentik dalam proses pembelajaran dinilai sangat penting oleh berbagai pihak. Kemendikbud (2013) bahkan secara tegas menyatakan bahwa proses penilaian dalam kurikulum 2013 harus bergeser dari penilaian konvensional  menuju  penilaian otentik. Hal ini disebabkan model pembelajaran yang ditawarkan kurikulum 2013 mengharuskan guru menggunakan penilaian otentik. Penggunaan penilaian otentik ini diyakini akan mampu memberikan kemampuan siswa dalam menyelesaikan persoalan nyata sekaligus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mampu berpikir, bertindak, dan berkerja secara sistematis bukan dengan jalan menerabas. Menilik pernyataan terakhir ini, penilaian otentik berfungsi juga dalam membentuk sikap dan moral siswayang selanjutnya dapat kita katakan membentuk karakter baik pada diri siswa.
          Selain kemendukbud, Fulcher dan davidson (2007: 51) mengemukakan bahwa sistem pembelajaran yang dilakukan saat ini masih menempatkan tes sebagai pelengkap proses pembelajaran. Kondisi semacam ini harusnya mulai dihilangkan dan sebaliknya setelah yang menjadi pemandu pembelajaran. Konsep semacam ini dikenal dengan istilah Test Driven Instruction. Konsep test driven instruction merupakan sebuah konsep yang meyakini bahwa mutu proses pembelajaran akan mampu meningkatakan dengan optimal jika pembelajaran dipandu oleh serangkaian kegiatan penilaian. Kegiatan penilaian tersebut tentu saja adalah penilaian otentik yang padah dasarnya dimaksudkan untuk menilai setiap aktivitas yang dilakukan siswa selama pembelajaran. Jika siswa selama selama pembelajaran hanya mendengarkan cerama guru, proses pembelajaran sebenarnya tidak sedang terjadi dalam kelas tesebut. Peranini diyakiniakan mampu mendongkrak mutu proses pembelajaran yang lebih berorientasi pada pembentukan kemampuan siswa.
Sejalan dengan Fulcher dan Davison, Hill dan Ruptic (1948: 8) menegaskan bahwa penilaian otentik tidak hanya sekedar menuntut siswa untuk mendemonstrasikan perilaku tertentu atau melengkapi tugas tertentu, melainkan tugas harus mampu mengunjukkerjakan sesuatu secara nyata dalam setiap tahapan pembelajaran di dalam kelas dan bahkan dalam kehidupan sehari-harinya. Berdasarkan kenyataan ini penilaian otentik akan menetapkan standar terukur yang mampu menilai siswa secara utuh dan tepat.
Pentingnya penilaian otentik dalam berbagai tahapan proses pembelajaran juga dikemukakan oleh Mormeli, Wormeli (2006: 33) menyatakan bahwa guna meningkatkan mutu proses pembelajaran harus telah diterapkan penilaian otentik yang mampu mengukur kemampuan siswa secara tepat dan sekaligus mampu dijadikan dasar pengembangan proses pembelajaran. Tiga jenis penilaian otentik tersebut meliputi penilaian portofolio, rubik dan penilaian diri. Lebih lanjut Wormeli (2006: 34) mengemukakan bahwa penggunaan penilaian autentik merupakan sebuah pengembangan pembelajaran berbasis keadilan sekaligus mengembangkan nuansa demokratis dalam pembelajaran. Menilik pernyataan ini, wormeli secara tidak langsung mengemukakan bahwa penilaian otentik mampu mendidik guru menjadi model pembinaan karakter dalam proses pembelajaran dan sekaligus mampu mengembangkan karakter para siswanya.
Penerapan penilaian sebagai pemandu proses pembelajaran yang dikemukakan para ahli diatas inilah yang selanjutnya melahirkan istilah Test Driven Fra. Hal ini berarti sudah saatnya lah tes atau penilaian digunakan sebagai pemandu Proses pembelajaran. Melalui penilaian yang baik akan tercipta sebuah proses pembelajaran yang baik. Bertemali dengan konsep ini secara tegas Popham (2003) secara khusus menulis buku Test Better, Teach yang didalamnya menunjukkan dan membuktikan bahwa penilaian yang baik aka membuat pembelajran menjadi baik. Popham (2003:6) secara detail menjelaskan bahwa penilaian dapat menjadikan sebagai sarana pengembangan kurikulum dan mengimplementasikannya dalam kegiatan pembelajran.
Tentang penggunaan penilaian sebagai pengembangan standar pembelajaran juga dikemukakan oleh Weeden, et al. (2003: 12) menjelaskan bahwa sebuah proses pembelajaran yang standar hannya dapat dibentuk melalui penilaian yang baik. Lebih lanjut mereka menyarankan bahwa melalui pemanfaatan penilaian inilah akan terbentuk standar proses pembelajaran sekaligus terbentuk standar hasil pembelajaran yang diharapkan. Melihat kondisi ini penggunaan penilaian khususnya penilaian otentik sangat berpotensi dalam mengembangkan mutu proses dan hasil pembelajaran di samping membentuk karakter pada diri siswa.
Picone-Zocchia (2009: 73) lebih lanjut menyatakan bahwa kata kunci untuk mengubah cara mengajar dan mengubah cara siswa belajar adalah melalui pemanfaatan penilaian berbasis otak selama pembelajaran. Menurutnya tidak ada cara paling jitu menciptakan siswa menjadi seorang yang strategik selain menerapkan penilaian yang berorientasi pada kesanggupan siswa menyelesaikan masalah kehidupan nyata dan penilaian yang berorientasi pada pengukuran ketercapaian otentik yang diperoleh siswa. Pernyataan ini semakin memperkuat kedudukn penilaian otentik dalam proses pembelajran sekaligus mengembangkan karakter siswa.
Bertemali dengan berbagai pendapat diatas, pertanyaan yang pertama muncul dalam tulisan ini bisakah pembelajaran berbasis akademik dan berbasis karakter dilakukan sekaligus sudah terjawab. Jawabannya tentu saja bisa. Lickona (2004: 121) telah secara jelas menyatakan bahwa pembelajaran yang berorientasi pada proses akan mampu mengembangkan akademik siswa. Selanjutnya Wormeli (2006: 35) menyatakan guna mengembangkan proses pembelajran yang demikian diperlukan peilaian model penilaian otentik.
E. Mendesain Penilaian Otentik Dalam Konteks Kurikulum 2013
            Ada beberapa langkah yang harus dilakukan ketika akan melakukan penilaian otentik. Rhodes dan Shanklin (Richardson, 2009: 60) menyatakan 3 langkah awal untuk mengembangkan penilaian otentik di dalam kelas. Tiga langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Biarkan siswa menggunakan bahasa dalam konteks sosial yang alami.
2.      Berikan pilihan siswa baik dalam bahan maupun kegiatan untuk memastikan mereka akan menemukan tujuan yang jelas dan asli selama pembelajaran membaca dan menulis.
3.      Ikuti fokus arah siswa untuk berkomunikasi secara alami melalui interaksi dengan orang lain.
Johnson, et el. (2009:36) menjelaskan bahwa ada lima langkah utama dalam mengembangkan penilaian otentik. Kelima langkah tersebut diuraikan sebagai berikut:
1.    Menentuhkan konten. Pada kegiatan ii yang haru dilakukan adalah menentuhkan jenis penilaian yang akan digunakan, materi ajar yang akan diujikan, proses yang harus ditempuh oleh siswa, dan spetifikasi materi dan keterampilan yang akan diujikan.
2.    Mengembangkan tugas. Pada tahap ini yang harus dilakukan adalah menentuhkan jumlah tugas, waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan setiap tugas, format respons yang dibutuhkan, materi pendukung yang dibrikan, dan contoh materi dan kriteria penskoran.
3.    Mengadriministasikan tes. Pada tahap ini yang harus dilakukan adalah menyusun manual penilaian, mnguji kesesuaian materi dengan siswa yang akan diukur, menyusun petunjuk umum penilaian, menyusun jadwal penilaian dan menyiapkan alat teknologi pendukung.
4.    Menskor dan melaporkan. Pada tahap ini yang harus dilakukan adlalah melaksanakan penilaian sesuai dengan tugas yang telah ditetapkan dan mengembangkan panduan interprstasi skor dan interprestasi hasil penilaian.
5.    Meninjau ulang penilaian. Pada tahap ini yang harus dilakukan kegiatan pengujian validitas, reliabilitas, dan revisi penilaian jika diperlukan.
Secara lebih teknis dan jelas,  Mueller (Nurgiyantoro,  2011) dan Newmann et al. (1995) mengemukakan sejumlah langkah yang perlu ditempuh dalam pengembagan penilaian otentik, yaitu yang meliputi (i) menentuhkan standar (ii) Penentuan tugas otentik, (iii) pembuatan kriteria; dan (iv) pembuatan rubric. Keeempat langkah yang di kemukakan Muller (Nurgiyantoro, 2011: 30-33) dan newman (1995: 61-63) ini disajikan sebagai berikut:
1. Penentuan Standar
            Standar dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan tentang apa yang harus diketahui atau dapat ,dilakukan pembelajar. Di samping standar ada goal (tujuan umum) dan objektif (tujuan khusus), dan standar berada diantara keduanya. Standar dapat diobservasikan (observable) dan diukur (measurable) ketercapaiannya. Istilah umum yang dipakai didunia pendidikan di Indonesia untuk standar adalah kompetensi sebagaimana terlihat pada KBK dan KTSP. Di kurikulum tersebut dikenal adanya istilah standar kompetensi lulusan dan kompetensi dasar. Standar kompetensi lulusan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan(FP No.19 Tahun 2005:2), sedang kompetensi dasar adalah kompetensi atau standar minimal yang harus tercapai atau dikuasai oleh pembelajar.
2. Penentuan Tugas Otentik
            Tugas otentik adalah tugas-tugas yang secara nyata dibebankan kepada pembelajar untuk mengukur pencapaian kompetensi yang dibelajarkan, baik ketika kegiatan pembelajaran masih berlangsung atau ketika sudah berakhir. Pengukuran hasil pencapaian kompetensi pembelajar yang secara realistic dilakukan dikelas dapat bersifat model tradisional atau otentik sekaligus tergantung kompetensi atau indikator yang akan diukur tugas otentik (authentic assessment) walau sebenarnya cakupan makna yang kedua lebih luas. Permasalahan yang segera mucul adalah tugas-tugas agar model-model pengukuran apa yang dapat dikategorikan sebagai tugas atau penilaian otentik.
            Semua kegiatan pengukuran pendidikan harus mengacu pada standar( standar kompetensi, kompetensi dasar) yang telah ditetapkan. Demikian pula halnya dengan pemberian tugas-tugas otentik. Pemilihan tugas-tugas tersebut pertama-tama haruslah menunjuk pada kompetensi mana yang akan diukur pencapaiannya. Kedua, dan inilah yang khas penilaian otentik, pemilihan tugas-tugas itu harus mencerminkan  keadaan atau kebutuhan yang sesungguhnya di dunia nyata. Jadi, dalam sebuah penilaian otentik masih terkandung dua hal sekaligus. Sesuai dengan standar(kompetensi) dan relevan (bermakna) dengan kehidupan nyata. Dua hal tersebut haruslah menjadi acuan kita ketika membuat Tugas-tugas otentik untuk mengukur pencapaian kompetensi pembelajaran kepada peserta.
            Dengan demikian, apa yang ditugaskan oleh guru kepada pemelajar yang dilakukan oleh pemelajar telah mencerminkan kompetensi yang memang dibutuhkan dalam kehidupan nyata. Hal itu berarti ada keterkaitan antara dunia pendidik di satu sisi dengan tuntutan kebutuhan kehidupan di dunia nyata di sisi lain (Mueller dalam Nurgiyantoro,2011:30-33).
3. Pembuatan Kriteria
            Jika standar (kompetensi, kompetensi dasar) merupakan arah dan acuan kompetensi pembelajaran yang dibelajarakan oleh pendididk dan sekaligus akan dicapai dalam oleh subjek didik, proses pembelajaran haruslah secara sadar diarahkan ke capaian kompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya. Demikian pula hal nya dengan penilaian yang dimaksudkan untuk mengukur kadar capaian kompetensi sebagai bukti hasil belajar. Untuk itu, diperlukan kriteria yang dapat mengambarkan capaian kompetensi yang dimaksud. Kriteria merupakan nyataan yang menggambarkan tingkat capaian dan bukti-bukti nyata capaian belajar subjek belajar dengan kualitas tertentu yang diinginkan. Kriteria lazimnya juga telah dirumuskan sebelum pelaksanaan pembelajaran dalam kurikulum berbasis kompetensi kriteria lebih dikenal dengan sebutan indikator.
            Dalam kegiatan pembelajaran, semua kompetensi yang dibelajarakan harus diukur kadar capaian nya oleh pemelajar, semua kompetensi yang dibelajarkan harus diukur kadar capaiannya oleh pemelajar. Jika dalam lingkup penilaian otentik harus melibatkan dua macam relevansi, yaitu sesuai dengan kompetensi dan bermakna dalam kehidupan nyata, kriteria atau indikator penilaian dikembangkan harus juga mengandung kedua tuntutan tersebut. Singkatnya sebuah kriteria penilaian capaian hasil belajar harus cocok dengan kompetensi dan bermakna dalam kehidupan nyata. Jumlah kriteria yang dibutuhkan bersifat relatif, tetapi sebaiknya dibatasi, dan yang pasti kriteria harus mengungkap capain hal-hal yang esensial dalam sebuah standar (kompelensi) karena hal itulah yang menjadi inti penguasaan terhadap kompetensi pembelajaraan. Kita tidak mungkin menagih semua tugas yang di belajarakan dan sekaligus dipelajari subjek didik.
            Selain itu, pembuatan kriteria harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang selama ini dinyatakan baik, baik dalam arti efektif untuk keperluan penilaian hasil belajar. Ketentuan-ketentuan itu antara lain harus dirumuskan secara jelas: singkat padat, dapat diukur, dan karena nya haruslah dipergunakan kata-kata kerja operasional: menunjuk pada tingkah laku hasil belajar, apa yang mesti dilakukan dan bagaimana kualitas yang dituntut: dan sebaiknya ditulis dalam bahasa yang dipahami oleh subjek didik. Perumusan kriteria yang jelas dan operasional akan mempermudah kita, para guru untuk melakukan kegiatan penilaian (Mueller dalam Nurgiyantoro, 2011:30-33).
4. Pembuatan Rubrik
            Penilaian otentik menggunakan pendekatan penilaian acuan kriteria  (criterion referenced measures) untuk menentukan nilai capaian subjek didik. Dengan demikian, nilai seorang pemelajar ditentukan seberapa tinggi kinerja ditampilkannya secara nyata yang menunjukan tingkat capaian kompetensi yang dibelajarkan. Untuk menentukan tinggi rendahnya skor kinerja yang dimaksud, haruslah dipergunakan alat skala untuk memberikan skor-skor tiap kriteria yang telah ditentukan. Alat yang dimaksud disebut rubrik (rubric). Rubrik dapat dipahami sebagai sebuah skala penskoran (scoring scale) yang dipergunakan untuk menilai kinerja subjek didik untuk tiap kriteria terhadap tugas-tugas tertentu (Mueller dalam Nurgiyantoro, 2011:30-33).
            Dalam sebuah rubrik terdapat dua hal pokok yang harus dibuat, yaitu kriteria dan tingkat capaian kinerja (level of performance) tiap kriteria. Kriteria berisi hal-hal esensial standar (kompetensi) yang ingin diukur tingkat capaian kinerjanya yang secara esensial dan konkret mewakili standar yang diukur capaiannya. Dengan membatasi kriteria pada hal-hal esensial, dapat dihindari banyaknya kriteria yang dibuat yang menyebabkan penilaian menjadi kurang praktis. Selain itu, kriteria haruslah dirumuskan atau dinyatakan (jadi: berupa pernyataan dan bukan kalimat) singkat padat, komunikatif, dengan bahasa yang gramatikal, dan benar-benar mencermikan hal-hal esensial (dari standar/kompetensi) yang diukur. Dalam sebuah rubrik, kriteria mungkin saja atau boleh juga dibeli dengan kata-kata tertentu yang lebih mencerminkan isi, misalnya dengan kata-kata: unsur yang dinilai.
            Tingkat capaian kinrja, dipihak lain, umumnya ditunjukkan dalam angka-angka, dan yang lazim adalah 1-3 atau 1-5, besar kecilnya angka sekaligus menunjukkan tinggi rendahnya capaian. Tiap angka tersebut biasanya mempunyai deskripsi verbal yang diwakili, misalnya skor 1: tidak ada kinerja, sedang skor 5: kinerja sangat meyakinkan dan bermakna. Bunyi deskripsi verbal tersebut harus sesuai dengan kriteria yang akan diukur. Yang pasti terdapat banyak variasi dalam pembuatan rubri, juga untuk kriteria dan angka tingkat capaian kinerja. Penilaian tingkat capaian kinerja seorang pemelajar dilakukan dengan menandai angka-angka yang sesuai. Rubrik lazimnya ditampilkan dalam lebel, kriteria ditempatkan di sebelah dan tingkat capaian di sebelah kanan tiap kriteria yang di ukur capaiannya itu. Rubrik dapat juga dibuat secara analitis (analytic rubrics) dan holistik (holistic rubrics). Rubrik analitis menunjuk pada rubrik yang memberikan penilaian tersendiri untuk tiap kriteria. Setiap kriteria mempunyai nilai tersendiri. pada umumnya, rubrik bersifat analitis. Rubrik holistis, di pihak lain, adalah yang tidak memberikan penilaian capaian kenerja untuk tiap kriteria. Penilaian capaian kinerja diberikan secara menyeluruh untuk seluruh kriteria sekaligus (Nurgiyantoro, 2011:33-34).
            Sejalan dengan beberapa langkah-langkah di atas, tahapan yang harus dilakukan guru dalam mengimplementasikan penilaian otentik dalam konteks pembelajaran pada kurikulum 2013 adalah : membuat kriteria yang akan digunakan, menetukan tugas yang akan dikerjakan siswa, pembuatan kriteria, dan, penyusunan rubrik penilaian. Melalui tahapan sederhana ini guru dapat mengkreasi sendiri model penilaian otentik yang di rasa palng tepat dalam mengukur kemampuan siswa selama dan setelah proses pembelajaran.
F. Implementasi Penilaian Otentik Dalam Konteks Kurikulum 2013
                        Implementasi penilaian otentik dalam konteks kurikulum 2013 telah secara tegas dinyatakan dalam Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Berdasarkan Permendikbud tersebut Standar Penilaian Pendidikan dipandang sebagai kriteria mengenai mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencangkup penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian tingkat mutu kompetensi, ujian nasional dan ujian sekolah/madrasah. Masing-masing jenis penilaian berikut di uraikan Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 sebagai berikut:
1.      Penilaian otentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran.
2.      Penilaian diri merupakan penilaian yang dilakukan sendiri oleh peserta didik secara reflektif untuk membandingkan posisi relatifnya dengan kriteria yang telah ditetapkan.
3.      Penilaian berbasis portofolio merupakan penilaian yang dilaksanakan untuk menilai keselurahan entitas proses belajar peserta didik termasuk penugasan perseorangan dan/atau kelompok di dalam dan/atau di luar kelas khususnya pada sikap/prilaku dan keterampilan.
4.      Ulangan merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik.
5.      Ulangan harian merupakan kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk menilai kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih.
6.       Ulangan tengah semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8-9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan tengah semester meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan seluruh KD pada period tersebut.
7.      Ulangan akhir semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang mempersentasikan semua KD pada semester tersebut.
8.      Ujian Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UTK meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepersentasikan Kompotensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
9.      Ujian Mutu Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UMTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UMTK meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
10.  Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN merupakan kegiatan pengukuran kompetensi tertentu yang dicapai peserta didik dalam rangka menilai pencapain Standar Nasional Pendidikan, yang dilaksanakan secara nasional.
11.  Ujian Nasional/Madrasah merupakan kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi diluar kompetensi yang diujikan pada UN, dilakukan oleh satuan pendidikan.
            Berdasarkan perincian penilaian di atas, dapat dikemukakan bahwa penilaian otentik dipandang sebagai penilaian yang lebih sempit dari yang seharusnya. Hal ini terlihat dari dipisahkanannya penilaian diri dan penilaian portofolio dari penilaian otentik. Pada konsep yang sebenarnya, kedua ragam penilaian ini merupakan bagian dari penilaian otentik. Dan oleh karenanya sebenarnya tidak perlu dipandang sebagai bagian terpisah dari konsep penilaian otentik. Berdasarkan sudut pandang ini jelaslah bahwa penilaian yang digunakan dalam kurikulum 2013 merupakan penilaian otentik.
            Terhadap konsep penilaian harian, perlu juga rasanya dibahas. Ulangan harian dianggap sebagai kegiatan  penilaian yang dilakukan secara periodikuntuk menilai kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih. Berdasarkan pengertiannya, konsep ulang harian sebenarnya tidaklah perlu muncul sebab ulangan harian merupakan konsep formatif yang melekat pada penilaian otentik, Dengan kata lain penilaian harian merupakan bagian dari penilaian keluaran atau output. Dengan menerapkan konsep penilaian otentik dengan sendirinya setiap kompetensi yang diajarkan akan diukur keluarannya sehingga konsep ulangan harian sebenarnya tidak diperlukan lagi dalam konteks kurikulum 2013.
            Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 lebih lanjut menjelaskan bahwa penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidik dasar dan menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Objektif, berarti penilaian berbasis pada standar dan tidak dipengaruhi faktor subjektivitas penilai.
2.      Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik dilakukan secara terencana, menyatu dengan kegiatan pembelajaran, dan berkesinambungan.
3.      Ekonomis, berarti penilaian yang efesien dan efektif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporannya.
4.      Transparan, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat di askes oleh semua pihak.
5.      Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak internal sekolah maupun eksternal untuk aspek teknik, prosedur, dan hasilnya.
6.      Edukatif, berarti mendidik dan memotivasi peserta didik dan guru.

            Berdasarkan prinsip-prinsip penilaian di atas ada beberapa hal yang harus dibahas terutama dengan esensi fungsi penilaian itu sendiri. Jika selama ini penilaian hanya di pandang sebagai proses untuk mengukur keberhasilan pembelajaran siswa (hal ini termasuk tercantum dalam Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013), ke depan esensi fungsi penilaian haruslah diperluas. Dalam konteks kurikulum 2013 fungsi penilaian seyogyanya dipanndang secara lebih moderen. Penilaian secara tradisional sering difungsikan untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan siswa, momonitor perkembangan belajar siswa, menetapkan nilai yang dicapai siswa, dan menentukan efektivitas proses pembelajaran. Dalam konteks kurikulum 2013, fungsi penilaian bukan hanya terletak pada keempat fungsi tradisional tersebut, melainkan lebih meluas meliputi fungsi-fungsi sebagai berikut:
1.      Peniain berfungsi untuk menentukan persepsi masyarakat tentang keefektifan pendidikan.
2.      Penilain terhadap performa siswa harus semakin dipandang sebagai bagian proses evaluasi guru.
3.      Penilaian hendaknya digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kulitas pembelajaran.

Berdasarkan ketiga fungsi penilaian modern di atas, dapat dijelaskan bahwa penilaian dalam konteks kurikulum 2013 harus mampu membentuk persepsi  masyarakat bahwa penilaian yang digunakan benar-benar mengukur kemampuan siswa. Selama ini tes dan pengetesan yang digunakan banyak dikembangkan tanpa mempertimbangkan konteks sosial. Kondisi ini membentuk citra negatif pada masyarakat yang akhirnya memandang pendidikan tidak efektif dalam mengembangkan sumber daya manusia yang handal. Hal ini terbukti dengan banyaknya tanggapan negatif pengguna lulusan yang menyatakan lulusan sekolah tertentu yang terkenal baik kualitasnya sekalipun ternyata tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan. Kondisi ini sering terjadi karena gradasi penilaian dipermudah atau bahkan tidak sesuai dengan tantangan dunia kerja yang sesungguhnya. Ke depan penilaian yang di kembangkan hendaknya benar-benar otentik baik dalam pengukuran maupun konteksnya sehingga para lulusan akan mampu berkiprah dalam kehidupan nyata bukan hanya mampu berkiprah dalam kehidupan dunia sekolah, dalam proses pengolahan nilainya pun, guru hendaknya lebih tegas dalam menentukan kelulusan dan ketidaklulusan siswa sehingga setiap lulusan benar-benar adalah siswa yang kompeten.
            Penilaian dalam konteks tradisional memang telah digunakan untuk mengukur keefektifan proses pembelajaran. Namun dalam konteks modern, penilaian hendaknya juga difungsikan sebagai alat dalam proses evaluasi guru. Berkenaan dengan fungsi ini, anggapan yang selama ini muncul bahwa pembelajaran yang tidak berhasil hanya semata-mata terjadi karena faktor rendahnya mutu siswa, kurangnya media pembelajaran, dan tidak tepatnya strategi pembelajaran yang digunakan harus di perluas dengan faktor lain yakni kualitas guru itu sendiri. Dengan kata lain, jika setelah proses pembelajaran banyak siswa yang tidak mencapai standar kompetensi yang ditetapkan, guru harus merefleksi diri tentang kekurangannya, baik dalam penguasaan konten materi pembelajaran, keterampilan mengajar, kreativitas dan gaya mengajar, maupun dalam mengelolah proses pembelajaran. Melalui sikap kritis, reflektif dan evaluatif ini di harapkan kedepan guru harus senantiasa mengembangkan diri sehingga kualitas proses belajar mengajar akan akan semakin  meningkat dan lulusn yang kapabel akan tercipta.
            Berkenaan dengan fungsi terakhir, penilaian dalam konteks kurikulum 2013 hendaknya digunakan sebagai pemandu proses pembelajaran. Sejalan dengan hal tersebut, proses pengembangan instrumen penilaian harus dilakukan sebelum mengembangkan strategi pembelajaran. Secara implementasional, strategi pembelajaran harus di susun dengan berdasar pada penilaian yang akan di gunakan untuk mengukur capaian kompetensi siswa. Berdasarkan penilaian yang telah di tetapkan barulah di susun seperangkat aktivitas belajar sehingga aktivitas belajar ini akan mampu secara lagsung membentuk kompetensi yang diharapkan.
            Selama ini penilaian lebih banyak dikembangkan setelah pengembangan strategi pembelajaran. Kesalahan langkah ini minimalnya menyebabkan dua masalah utama yakni penilaian dianggap terlalu mudah atau penilaian dianggap terlalu sulit. Kasus penilaian dianggap terlalu mudah biasanya terjadi jika pembelajaran dilakukan dengan aktivitas yang saintfik tetapi pengukuran hanya dilakukan dengan menggunakan instrumen teks obyektif yang hanya mengukur ingatan siswa. Dampaknya akan  berhubungan dengan sikap dan motivasi siswa. Yakni siswa akan memandang tidak perlu melakukan aktivitas otentik jika tes yang diberikan terlalu mudah baginya, muara atas dan sikap motivasi yang rendah ini adalah siswa yang tidak akan terdorong untuk aktif. Selama proses pembelajaran dan bahkan memandang pembelajaran adalah proses yang membosankan, lebih lanjut, siswa akan memiliki karakter yang kurang baik yakni tidak memiliki semangat pantang menyerah (malas), kurang mau berfikir, kurang mau bekerja sama, dan yang lainnya.

            Kasus penilaian yang terlalu sukar sering terjadi ketika pembelajaran dilaksanakan dengan strategi yang kurang baik sehingga pembelajaran kurang bersentuhan lagsung dengan kompetensi yang akan diukur yang hasilnya banyak siswa yang tidak memenuhi standar yang diharapkan. Kondisi ini akan berujung pada ketidakobjektifan penilaian, keputusan siswa, dan berbagai kecurangan seperti katrol nilai, manipulasi data hasil penilaian, dan yang lainya. Kondisi lain yang lebih parah adalah munculnya sikap negatif guru terhadap siswa yang salah satunya adalah guru senatiasa menggap siswa tidak kompeten, tidak berbakat, dan memiliki kemampuan yang rendah.
            Sejalan dengan kedua kondisi ini, seyogyanya penilaian dan strategi pembelajaran memiliki tingkat relevansi yang tinggi. Penilain harus memandu strategi pembelajaran dan strategi pembelajaran senantiasa berorientasi pada penilaian. Sebagai penjelas konsep ini perlu kiranya dicontohkan bagaimana penilaian memandu pembelajaran dan pembelajaran senantiasa berorientasi pada penilaian. Dalam pembelajaran membaca pemahaman misalnya, kompetensi yang harus dicapai siswa adalah membuatinti sari bacaan. Berdasarkan tujuan tersebut, strategi pembelajaran yang dipilih haruslah berisi seperangkat aktivitas yang secara lagsung membina kemampuan siswa membuat inti sari bacaan. Aktivitas dimaksud misalnya menggali skemata siswa, menyusun tujuan membaca, menemukan ide pokok bacaan, menyusun peta konsep isi bacaan, dan mengembangkan inti sari bacaan. Keseluruhan aktivitas ini dikenal dengan istilah strategi membaca skemata kritis. Berdasarkan contoh ini, diketahui bahwa jenis penilaian yang di gunakan yakni penilaian kemampuan membuat inti sari bacaan memandu aktivitas pembelajaran dan aktivitas pembelajaran senantiasa berorentasi pada pembentukan kemampuan yang akan dinilai. Jika pembelajaran hanya dilakukan secara tradisional misalnya membaca dan menjawab pertanyaan, diyakni siswa akan gagal dalam membuat inti sari bacaan. 
            Hal ini yang dijelaskan dalam Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 adalah pendekatan penilaian. Pendekatan penilaian yang digunakan dalam pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013 adalah penilaian acuan kriteria (PAK). PAK marupakan penilaian pencapaian kompetensi yang di dasarkan pada kriteria ketuntasan minimial (KKM). KKM merupakan kriteria ketuntasan belajar minimal yang di tentukan oleh satuan pendidikan dengan memepertimbangkan karakteristik Kompetensi Dasar yang akan dicapai, daya dukung, dan karakteristik peserta didik. Bertemali dengan penggunaan PAK, instrumen penilaian otentik yang akan banyak digunakan adalah rubrk penilaian (skoring rubrik). Skoring rubrik yang digunakan hendaknya juga bersifat analisis bukan holistis. Hal ini bertujuan agar penilaian yang dilakukan memiliki standar yang jelas sehingga proses pengukurannya pun semakin mudah.
            Penilain hasil belajar peserta didik dalam konteks kurikulum 2013 mencangkup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan. Dalam Permendikbud Nomor 6 Tahun 2013 dinyatakan bahwa cakupan penilaian merujuk pada ruang lingkup materi, kompetensi, mata pelajaran/kompetensi muatan/kompetensi program, dan proses. Sejalan dengan cakupan tersebut, teknik dan instrumen yang digunakan untuk penilaian kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan adalah sebagai berikut.
1.      Penilaian Kompetensi Sikap
Permendikbud Nomor. 66 Tahun 2013 menjelaskan bahwa pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui observasi penilaian diri, penilaian “teman sejawat” (peer evaluation) oleh peserta didik, dan jurnal. Instrumen yang digunakan untuk observasi, penilaian diri, dan penilaian antar peserta didik adalah daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang di sertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa catatan pendidik.
a.       Observasi merupakan teknik penilain yang dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan indera baik secara lagsung maupun tidak langsung dengan menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlah indikator prilaku yang diamati.
b.      Penilain diri merupkan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian kompetensi. Instrumen yang di gunakan berupa lembar penilaian diri.
c.       Penilaian antar peserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian antar peserta didik.
d.      Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkaitan dengan sikap dan perilaku.

Berdasarkan teknik dan instrumen penilaian sikap diatas, ada beberapa catatan yang harus dikemukakan. Pertama, bahwa penilaian sikap dengan menggunakan teknik observasi dan instrumen pedoman observasi hendaknya tidak banyak dilakukan guru mengingat kondisi kelas yang terdapat di sekolah indonesia tidaklah seluruhnya sesuai dengan standar rombongan belajar yang ditetapkan. Pengukuran sikap dengan observasi langsung oleh guru akan men Jadi biasa jika siswa dalam kelas lebih dari 20 orang siswa. Hal inilah yang terjadi sekarang ini yakni bahwa penilaian sikap hanya dilakukan guru dengan hanya berkeliling kelas dengan membawa alat cek dan pada saat siswa tahu sedang dinilai mereka akan seolah-olah aktif belajar. Pada kasus lain, banyak pula guru yang hanya mengisi, nilai besar diberikan pada siswa yang paling dikenai, dan  berbagai kondisi kekurang akuratan lainnya. Kondisi ini bisa pula terjadi pada insrtumen jurnal, sehingga penggunaan kedua instrument ini benar-benar memerlukan guru yang memiliki kepedulian tinggi dalam menciptakan pembelajran yang lebih baik.
Berkenaan dengan penilaian diri dengan menggunakan instrumen lembar penilaian diri, kondisi yang banyak terjadi adalah keterbatasan dana untuk membuat alat evaluasi diri ini. Dana BOS memang telah ada namun  peruntukan untuk hal-hal yang sifatnya akademis. Diakui atau tidak, lebih sulit keluar dibanding untuk peruntukan lain. inilah minimalnya yang sering dikeluhkan para guru muda kreatif dibeberapa sekolah yang pernah penulis wawancarai. Bertemah dengan kondisi ini, guru harus lebih kreatif menciptakan instrument yang lebih murah dibanding dengan hanya mengeluh kekurangan dana, mengingat instrumen ini dalam pandangan penulis lebih sahih, lebih akurat, dan lebih handal dibanding dengan penilaian melalui observasi langsung oleh guru.
Jenis penilaian sikap instrumen lembar penilaian antarpeserta didik juga dianggap lebih baik dibanding dengan penilaian observasi langsung dan jurnal yang dibuat guru. Melalui instrumen ini, sikap siswa akan lebih terukur dengan baik. Namun demikian, perlu mendapat catatan bahwa siswa harus pula dibekali tentang pentingnya kejujuran memberikan penilaian agar penilaian yang mereka berikan mampu digunakan untuk mengembangkan sikap positif teman mereka. Penyadaran ini diperlukan juga terutama untuk menghindari sikap kurang baik dalam menilai misalnya terjadi kerja sama siswa untuk memberikan penilaian baik kepada teman atau dalam istilah popular terjadi kondisi kong kali kong di antara para siswa.
2. Penilaian Kompetisi Pengetahuan
Permendikbud No.66 tahun 2013 menjelaskan bahwa pendidik menilai kompetensi pengetahuan siswa melalui tes tulis, tes lisan, dan penugasan. Instrument tes tulis yang bisa digunakan guru berupa soal pilihan ganda, isian, jawaban singkat, benar salah, menjodohkan, dan uraian yang dilengkapi pedoman penskoran, instrument tes lisan berupa daftar pertanyaan, dan instrumen penugasan berupa perkerjaan rumah dan/atau proyek yang dikerjakan secara individu atau kelompok sesuai dengan karakteristik tugas.
            Jenis instrument yang tertuang dalam  permendikbud tersebut haruslah dikritisi secara mendalam dengan tujuan penilaian yang digunakan guru nantinya merupakan penilaian yang benar-benar berorientasi bagi pengembangan kompetisi siswa dalam menjawab tuntutan abad ke-2. Berkenaan dengan tes tulis ragam penilaian yang hendaknya banyak digunakan dalam pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013 adalah tes uraian. Tes subyektif seperti pilihan ganda, isian, jawaban singkat, benar-salah, dan menjodohkan hendaknya dibatasi penggunanya. Hal ini sejalan dengan sejumlah asumsi bahwa penilaian uraian lebih lebih menuntut kemampuan siswa untuk berpikir secara kritis dan kreatif. Penilaian dengan tes uraian juga diyakini lebih baik bagi pengembangan kreativitas siswa dibanding dengan tes subyektif yang lebih cenderung mengukur kemampuan ingatan para siswa atau hanya menuntut kemampuan berpikir tingkat rendah.
            Jika dikaitkan dengan rendahnya hasil penilaian kemampuan literasi siswa Indonesia baik dalam membanca, sains,  maupun matematika yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei internasional dapat dikemukakan bahwa rendahnya kemampuan literasi siswa Indonesia ini salah satunya adalah bahwa siswa Indonesia kurang terbiasa mendapatkan penilaian yang menitikberatkan pada aspek kemampuan bernalar pemecahan masalah. Berargumentasi dan berkomunikasi . Penilaian yang selama ini banyak digunakan di dunia persekolahan Indonesia adalah soal-soal yang mengukur kemampuan teknis baku yang berkaitan dengan ingatan dan pemahaman semata. Berdasarkan kenyataan ini sekali lagi penggunaan penilaian ragam penilaian ini diyakini lebih mampu mengembangkan kemampuan bernalar, pemecahan masalah, berargumentasi dan berkomunikasi bagi para siswa. Melalui  penggunaan ragam penilaian yang demikian, kemampuan literasi siswa Indonesia ke depan diyakini akan lebih baik.
            Dalam kaitanya dengan tes lisan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama tes lisan yang digunakan untuk menilai hendaknya bukan hanya tes lisan yang ditunjukan untuk mendiagnosis kemampuan awal siswa melainkan tes lisan yang benar-benar mengukur kemampuan siswa berkomunikasi dan bernalar. Kedua, tes lisan yang digunakan hendaknya tidak semata-mata ditunjukan pada satu atau dua orang siswa melainkan harus mampu ditunjukan untuk seluruh siswa. Berdasarkan kondisi tersebut, penggunaan tes lisan akan berkonsekuensi pada keperluan waktu pelaksaan tes yang banyak dibanding denga  tes tulis. Ketiga, tes lisan hendaknya tidak ditafsirkan sebagai tes membacakan soal agar guru tidak perlu membuat banyak instrument dan siswa menjawab pertanyaan pada buku tulis yang dimilikinya, melainkan tes yang benar-benar menuntut siswa menjawab secara lisan semua persoalan yang diajukan guru.
            Berkaitan dengan tes penugasan khususnya penugasan berupa perkerjaan rumah perlu disadari bahwa pemberian tugas perkerjaan rumah harus dilakukan atas beberapa prinsip penting sebagai berikut :
a. Materi yang ditugaskan dalam PR adalah materi yang benar-benar telah dikuasai oleh siswa, bukan materi yang tidak selesai dikerja siswa di dalam kelas yang belum diketahui mampu atau tidaknya siswa menguasi materi tersebut.
b. Jenis tugas PR hendaknya mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa sehingga tidak semua siswa mendapatkan jenis tugas yang sama dengan tingkat kesulitan yang sama. Ingat PR berfungsi sebagai pengayaan bukan sebagai sarana pembelajaran.
c. Tugas dalam PR hendaknya tidak banyak menuntut keterlibatan orang tua untuk mengerjakannya. Ingat tidak semua orang tua memiliki waktu, kemampuan, dan kemauan untuk membantu siswanya mnegerjakan PR. Lebih jauh, hal yang harus dipertimbangkan adalah bahwa kondisi masyarakat Indonesia, banyak siswa yang kos, orang tuanya berkerja diluar daerah/negeri, dan latar belakang pendidikan orang tua yang lebih rendah dari pada anaknya. Dengan demikian, tugas PR yang menuntut kolaborasi dengan orang tua hendaknya hanya diberikan jika telah diketahui benar kondisi orang tua siswa. Menilik kondisi ini, di Negara maju sering dilakukan pertemuan guru dan orang tua di malam hari guru membangun kolaborasi guru dan orang tua dalam mengembangkan kemampuan anak. Kebiasaan baik ini di Indonesia hampir tidak pernah dilaksanakan.
d. PR hendaknya benar-benar dibahas dan dinilai bukan hanya ditandatangani pasca dikerjakan oleh siswa. Melaui pengelolahan yang demikian PR akan mampu memenuhi fungsinya sebagai sarana pengayaan dan pendeteksan penguasaan siswa atas materi yang di-PR kan.
e. Hasil penilaian tugas pr hendaknya tidak dijadikan satu-satunya alat ukur kompetensi siswa karena proses pengerjaanya tidak diketahui secara pasti apakah benar-benar hasil kerja anak atau  bukan.
            Catatan lain yang perlu dikemukan dalam kaitanya dengan penilaian tugas adalah banyaknya kesalahan implementasi penilaian tugas yang selama ini terjadi di sekolah. kesalahan tersebut salah satunya adalah penggunaan buku lembar kerja siswa (LKS) yang dianggap sebagai alat evaluasi atau sebagai tugas pembelajaran. Kesalahan ini terjadi karena LKS yang banyak dibuat di Indonesia hanya berisi ringkasan materi dan soal-soal latihan. Bentuk LKS semacam ini tentu saja sangat tidak sesuai dengan LKS yang seharusnya yakni yang berisi serangkaian pedoman kerja yang harus dilakukan siswa dalam memperoleh pengetahuan. Akibatnya, sampai saat ini LKS sering hanya berfungsi sebagai tugas tugas latihan bagi para siswa . yang lebih parah adalah bahwa LKS tidak dinilai hanya ditandatangani guru sehingga siswa tidak mengetahui kualitas hasil kerjanya.
            Berdasarkan beberapa catatan diatas, penggunaan ragam penilaian untuk mengukur pengetahuan hendaknya benar-benar diorientasikan guna membangun kompetensi siswa penilaian dengan demikian bukan hanya digunakan sebagai alat ukur melainkan sebagai alat belajar. Lebih lanjut, penilaian pengetahuan harus dikemas seotentik mungkin agar peran pentingnya dalam mengembangkan kualitas hasil dan proses pembelajaran dapat dirasakan.
3. Penilaian Kompetensi Keterampilan
            Berkaitan dengan  penilaian keterampilan, permendikbud No.66 tahun 2013 menjelaskan bahwa pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik mendemontrasikan suatu kompetensi tentu dengan menggunkan tes praktik proyek dan penilaian portopolio instrumen yang digunakan berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang dilengkapi rubric lebih lanjut tentang tes ini dijelaskan bahwa (1) tes praktik adalah penilaian yang menuntut respons berupa keterampilan melakukan suatu aktivitas atau perilaku sesuai dengan tuntutan kompetensi (2)proyek adalah tugas-tugas belajar (learning tasks) yang meliputi kegiatan perancangan, pelaksanaan, dan pelaporan secara tertulis maupun lisan dalam waktu tertentu; dan (3) penilaian portopolio adalah penilaian yang dilakukan dengan cara menilai kumpulan seluruh karya peserta didik dalam bidang tertentu yang bersifat reflektif-intergratif untuk mengetahui minat, perkembangan prestasi, dan/atau kreativitas peserta didik dalam kurun waktu tertentu. Karya tersebut dapat berbentuk tindakan nyata yang mencerminkan kepedulian peserta didik terhadap lingkunganya.
            Berkenaan dengan tiga ragam penilaian keterampilan diatas perlu ditambahkan penilaian keterampilan dapat pula berupa penilaian proses pembelajaran. Dengan demikian, penilaian proses pembelajaran bukanlah penilaian sikap atau hanya sekedar penilaian yang mengukur keaktifan, sungguh-sungguhan, kerja sama, bertanya , menjawab, dan indikator lainnya yang tidak jelas descriptor dan kriteria pengukurannya. Penilaian proses pembelajaran adalah penilaian yang dilakukan  terhadap capaian tugas belajar yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran yang ditujukan dengan hasil kreativitas belajar. Berdasarkan pengertian ini, penilaian proses dikembangkan berdasarkan aktivitas belajar yang dilakukan siswa yang dapat dibuktikan keberadaannya melalui bukti-bukti capaian aktivitas yang jelas.
            Penilaian proses merupakan salah satu penilaian otentik penting yang bersifat formatif bagi siswa. Melalui penilaian proses ini akan tergambar capaian belajar atau performa bagi siswa pada setiap tahapan pembelajaran yang dilaluinya. Penilaian proses dikembangkan sejalan dengan tujuan performasi pembelajaran yang secara detail menyatakan keterampilan-keterampilan apa yang hendaknya dicapai siswa dalam rangka mencapai kompetensi utama yang dipersyaratkan. Dengan demikian, penilaian proses menempati posisi yang sangat penting dalam desain system pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013.
            Guna lebih memberikan gambaran tentang tes proses, perhatikan uraian berikut. Dimisalkan seorang guru akan melaksanakan pembelajaran menulis argumentasi. Guna mencapai tujuan tersebut pembelajaran harus dikembangkan melalui beberapa aktivitas, misalnya (1) menemukan ide dan menuangkannya dalam  bentuk peta konsep, (2)membuat kerangka karangan,(3)menulis draf, (4)menyunting draf,(5)memublikasikan karangan. Setiap aktivitas belajar ini harus diukur ketercapaiannya. Sejalan dengan hal tersebut perlu dibuat penilaian proses dalam bentuk scoring rubrik untuk mengukur capaian belajar pada setiap tahapan belajar yang dialami siswa. Nilai akhir penilaian proses ada jumlah skor yang diperoleh siswa dari seluruh tahapan belajar yang telah dicapai siswa.
            Ragam penilaian lain yang tampaknya belum muncul dalam permendikbud nomor 66 tahun 2013 adalah penilaian produk. Walaupun portopolio bisa dikategorikan penilaian buruk, namun asas penilaian produk jauh berbeda dengan penilaian portopolio. Demikian pula penilaian proyek walaupun salah satu aspek yang dinilainya adalah produk karena penilaian proyek bersifat menyeluruh terhadap setiap tahapan proyek sedangkan penilaian produk lebih berpusat pada kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan. Penilaian produk meliputi penilaian kemampuan peserta didik membuat produk-produk teknologi dan seni, seperti makanan , pakaian , hasil karya seni (patung, lukisan, gambar). Barang-barang terbuat dari kayu, keramik, plastik, logam. Karna sastra dan berbagai produk lainnya. Dalam menilai produk, guru hendaknya menggunakan cara analitis, yaitu berdasarkan aspek-aspek produk, biasanya dilakukan terhadap semua kriteria kualitas produk.
            Dalam mengembangkan berbagai instrument penilaian diatas, permendikbud no.66 tahun 2013 menyatakan bahwa instrument penilaian harus memenuhi persyaratan (1) substansi yang merepresentasikan kompetensi yang dinilai (2) kontruksi yang memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrument yang digunakan; dan (3) penggunaan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik bertemah dengan konsep ini, pengembangan penilaian otentik dalam pembelajaran harus dilakukan secara cermat sejalan dengan tahapan penyusunan penilaian otentik sebagai telah dibahas di muka. Secara lengkap bagaimana mengembangkan penilaian otentik dalam konteks kurikulum 2013 berserta contoh implementasinya akan dibahas dalam buku tersendiri.
            Bagian akhir yang perlu dijelaskan dalam bab ini adalah ihwal pelaksaan dan pelaporan penilian oleh pendidik dalam konteks pembelajaran kurikulum 2013. Berdasarkan permendikbud No.66 tahun 2013 dapat dikemukakan bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik yang dilakukan secara berkesinambungan bertujuan untuk memamtau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran penilaian belajar oleh pendidik tersebut harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.    Proses penilaian diawali dengan mengkaji silabus sebagai acuan dalam membuat rancangan dan kriteria penilaian pada awal semester setelah menetapkan kriteria penilaian, pendidik denagn indikator dan mengembangkan insrumen serta pedoman perskoran sesuai  dengan teknik penilaian yang dipilih.
2. Pelaksanaan penilaian dalam proses pembelajaran diawali dengan penelusuran dan diahiri dengan tes dan/atau nontes. Penelusuran dilakukan dengan menggunakan teknik bertanya untuk mengekplorasi pengalaman belajar sesuai dengan kondisi dan tingkat kemampuan peserta didik.
3. Penilaian pada pembelajaran tematik-terpacu dilakukan dengan mengacu pada indikator dan kompetensi dasar setiap mata pelajaran yang diintegrasikan dalam tema tersebut.
4. Hasil penilaian oleh pendidik dianalisis  lebih lanjut untuk mengetahui kemajuan dan kesulitan belajar. Dikembalikan kepada peserta didik disertai balikan (feedback) berupa komentar yang mendidik penguatan yang dilaporkan kepada pihak yang terkait dan dimanfaatkan untuk perbaikan pembelajaran.
5. laporan hasil penilaian oleh pendidik berbentuk:
a. nilai dan/atau deskripsi pencapain kompetensi, untuk hasil penilaian kompentensi pengetahuan dan keterampilan termasuk penilaian hasil pembelajaran termatik-terpadu
b. deskirpsi sikap, untuk hasil penilaian kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial.
6. laporan hasil penilaian oleh pendidik disampaikan kepada kepala sekolah/ madrasah dan pihak lain yang terkait (missal : wali kelas, guru bimbingan dan konseling, dan orang tua/wali) pada periode yang ditentukan
7. penilaian kompetensi sikap spiritual dan sosial dilakukan oleh semua pendidik selama satu semester, hasilnya diakumulasi dan dinyatakan  dalam bentuk deskripsi kompentensi oleh wali kelas/guru kelas.
            Berdasarkan permendikbud No.66 tahun 2013 selain terdapat penilaian yang dilakukan guru, penilaian juga dilakukan oleh satuan pendidikan (Sekolah) dan pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan peserta didik yang meliputi kegiatan sebagai berikut :
1. menentukan kriteria minimal pencapaian tingkat kompetensi dengan mengacu pada indikator kompetensi dasar tiap mata pelajaran.
2. mengoordinasikan ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, h/mulangan kenaikan kelas, ujian tingkat kompensi dan ujian akhir sekolah/madrasah.
3. menyelenggarakan ujian sekolah/madrasah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah sesuai dengan POS Ujian Sekolah/madrasah.
4. menentukan kriteria kenaikan kelas.
5. melaporkan hasil pencapaian kompetensi dan/atau tingkat kompensi kepada orang tuaa/wali peserta didik dalam bentuk buku rapor.
6. melaporkan pencapaian hasil belajar tingkat satuan pendidikan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota dan instansi lain yang terkait.
7. melaporkan hasil ujian tingkat kompensi kepada orang tua/wali peserta didik dan dinas pendidikan.
8. menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik sesuai dengan kriteria :
            a.menyelesaikan seluruh program pembelajaran
b.mencapai tingkat kompentesi yang dipersyaratkan, dengan ketentuan kompetensi sikap (spiritual dan sosial) termasuk kategori baik dan kompetensi pengetahuan dan keterampilan minimal sama dengan KKM yang telah ditetapkan.
c. lulus ujian akhir sekolah/madrasah; dan
d. lulus Ujian Nasional.
9. menertibkan surat keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) setiap peserta didik bagi satuan pendidikan penyelenggaraan Ujijan Nasional.
10. menertibkan ijazah setiap peserta didik dan lulus dari satuan pendidikan bagi satuan pendidikan yang telah terakreditasi.
            Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah dilakukan melalui Ujian Nasional dan ujian mutu Tingkat Komptensi, dengan memperhatikan hal-hal berikut.
1. Ujian Nasional
a. penilaian hasil belajar dalam bentuk UN didukung oleh suatu system yang menjamin mutu dan kerahasiaan soal serta pelaksaaan yang aman, jujur dan adil.
b. Hasil UN digunakan untuk :
 1) salah satu syarat kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan
2) salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya
 3)pemetaan mutu; dan
 4) pembinaan dan pemberian bantuan untuk peningkatan mutu .
c. Dalam rangka standarisasi UN diperlukan acuan berupa kisi-kisi bersifat nasional yang dikembangkan oleh pemerintah, sedangkan soalnya disusun oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah dengan komposisi tertentu yang ditentukan oleh pemerintah
d. sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, kriteria kelulusan UN untuk pemetaan mutu program
e. dalam rangka penggunaan hasil UN untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, pemerintah menganalisis dan membuat peta daya serap UN dan menyampaikan hasilnya kepada pihak yang berkepentingan.
2. Ujian Mutu Tingkat Kompetensi
a. ujian mutu tingkat kompetensi dilakukan oleh pemerintah pada seluruh satuan pendidkan yang bertujuan untuk pemetaan dan penjaminan mutu pendidikan di suatu satuan pendidikan
b. ujian mutu tingkat kompetensi dilakukan sebelum peserta didik menyelesaikan pendidikan pada jenjang tertentu, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk perbaikan proses pembelajaran.
c. instrument, pelaksaan, dan pelaporan ujian mutu tingkat kompetensi mampu memberikan hasil yang komprehensif sebagaimana hasil studi lain dalam skala internasional.












BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan.
Pengembangan desain pembelajaran akan dimulai dari tahap analisis kebutuhan, anlisis pembelajaran, peentuan tujuan pembelajaran, pengemangan instrumen penilaian, pengembangan strategi pembelajaran, pengembangan bahan ajar, dan perancanagan pelaksanaan evaluasi model pembelajaran.
Desain sistem pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013 harus diawali dengan kegiatan studi pendahuluan untuk merumuskan tujuan pembelajaran. Langkah kedua yang harus dilakukan dalam adalah melakukan analisis pembelajaran. Langkah ketiga yang harus dilakukan adalah menganalisis siswa dan konteks pembelajaran. Langkah terakhir yaitu merumuskan tujuan performasi. Dalam merumuskan tujuan peformasi ini, diperlukan kata-kata kerja operasional sehingga ketercapaian tujuan umum dapat tergambarkan.
Penilaian autentik merupakan sebuah konsep evaluasi untuk menilai kemampuan hasil belajar anak secara holistic. Penilaian ini diperoleh melalui pengumpulan  informasi  oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai.
Penilaian ini dilakukan melalui 4 jenis penilaian yaitu Penilaian Kerja Penilaian porto folio, penilain proyek dan penilaian tertulis. Hasil dari  kombinasi seluruh penilaian ini akan lebih mencerminkan penilaian yang lebih holistic untuk melihat kemampuan anak secara objektif.
Asesmen autentik ini memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. Karena, asesmen semacam ini mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, membangun jejaring, dan lain-lain.
B. Saran
Sebagai orang yang berkecipung dalam duni pendidikan sudah seharusnya kita memiliki kompetensi untuk mengembangkan desain penilaian otentik dalam kurikulum 2013. Desain sistem pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013 perlu terus dikaji agar tercipta suatu pemahaman yang nantinya membantu kita dalam mewujudkan pendidikan Indonesia yang bermutu. Guru dan para pendidik lainnya memegang peranan penting terhadap pengembangan kurikulum termasuk dalam mendesain pembelajarannya. Kita harus lebih berani dalam bertindak dan kreatif dalam berpikiran.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Yunus. 2013. Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013.                 Bandung: PT Refika aditama.

No comments:

Post a Comment